-
---
"Sudut pandang tak pernah memihak apa yang hanya terlihat."
---Samuel bersyukur Bara selamat sampai ia menghentikan laju motornya di parkiran rumah sakit. Samuel takut Bara kenapa-kenapa karena kacau pikirannya. Samuel tidak mau lagi ada hal menyedihkan lainnya untuk Bara. Cukup sudah ia rasa.
Langkah Samuel yang tidak Bara sadari terhenti ketika Bara memasuki sebuah ruang rawat. Ia memilih menunggu di luar ruangan, membiarkan Bara masuk sendiri menemui mamanya.
Ini bukan pertama kali Bara menumpahkan amarahnya di bilik kamar mamanya. Ia curahkan semua perasaan sesaknya di sana. Bara tak pernah mengadu keluh kesahnya pada sang mama sebelumnya, sebelum Widya terbaring dalam diamnya seperti ini. Tapi satu tahun belakangan ini, Bara seakan bisa bebas berkeluh kesah pada sang mama. Ia keluarkan semua sesak yang terbendung di hatinya.
"Ma, Bara salah, ya, merahasiakan semuanya? Bara marah, Bara kecewa, Bara ... Tapi Bara juga marah sama diri Bara sendiri, Ma," Bara mengadu pada Widya.
Tidak banyak yang Bara adukan pada mamanya. Sembari memegang telapak tangan Widya, Bara menguatkan dirinya. Berkali-kali ia tepis rasa panas di matanya. Kalau diberi peluang, Bara yakin air matanya mengalir sekarang.
Bara pikir, tidak ada gunanya ia menangis. Tidak akan merubah apapun yang terlanjur terjadi. Percuma saja, tidak ada yang menenangkannya. Tidak ada yang memperhatikannya. Bara kecil sudah sering menangis, tapi tak ada yang benar-benar mau mengelus punggungnya. Kata papanya, kalau ia terus menangis, papa nggak mau pulang ke rumah. Kata mamanya, laki-laki nggak boleh cengeng, nanti nggak ada yang mau jadi temennya.
Bara mengusap hidungnya dengan punggung tangan. Mengulas sedikit senyum kemudian mencium punggung tangan mamanya.
"Bara nggak kangen sama Mama, tapi Bara sayang sama Mama. Bara pengen liat Mama marahin papa lagi," ucap Bara.
Bara memang tak pernah punya alasan kenapa ia harus merindukan sosok ibunya. Bara tidak pernah punya momen berharga bersama kedua orangtuanya. Kalau Bara tahu dan ingat bagaimana saat perjuangan mamanya melahirkan dirinya, mungkin itu saja bisa jadi alasan terkuat ia merindukan sosok ibu baginya. Tapi sayang, Bara tak pernah tahu bagaimana kejadiannya.
"Bara capek. Semoga nanti kalo Mama sembuh, Mama bisa obatin rasa capeknya Bara, ya?"
"Bara pengen sekali aja ditanya 'kenapa' atau 'gimana' sama Mama atau Papa, Bara pengen ngeluh sambil diusap kepalanya sama kalian."
Bara menelungkupkan kepalanya. Sejenak mengatur napasnya. Berjam-jam sudah ia di sana, pasalnya tak mau lagi Bara pulang ke rumahnya. Persetan dengan kemarahan sang ayah, Bara lebih mementingkan egonya.
Dibukanya pintu, Bara mendudukkan tubuhnya kemudian. Belum terlalu menyadari sekitar hingga ia tak tahu ada Samuel yang duduk di sampingnya. Dari duduknya yang berjarak dua kursi dari Bara, Samuel menatap sisi samping wajah Bara. Raut lelah tak bisa ditepisnya. Ada rasa sedih dan kecewa yang tergambar di sana.
"Bar?"
Terhitung lima belas menit Samuel baru mau membuka suaranya. Ia sudah lelah berdiam sendiri, memandangi Bara yang tak bergeming sama sekali.
Bara sontak terlonjak. Siapa yang tidak terkejut jika seperti ini? Tanpa permisi Samuel menepuk pundak Bara yang tengah melamun.
"Kaget, Anjing!" langsung saja umpatan kasar Bara lontarkan begitu tahu Samuel pelakunya.
"Anjing, anjing, mata lo gelinding!" sahut Samuel.
Samuel menggerakkan posisi duduknya lebih dekat dengan Bara. Menatap sahabatnya tak suka. Kalau tadi Samuel bisa merasa iba pada Bara yang diam saja, kini Samuel membuang jauh-jauh rasa itu setelah mendengar umpatan Bara. Lagi pula, siapa yang mau terima dengan lapang dada diberi umpatan seperti itu?
"Lagian lo ngapain tiba-tiba muncul di sini? Pake nabok gue segala, kaget gue," balas Bara.
Bungkamnya beberapa menit lalu terbuka. Samuel bisa dengan jelas melihat perubahannya.
"Lo kata gue jin tomang? Sejak sebelum lo sawan sampe seperempat jam, gue duluan udah di sini," kata Samuel dengan menyebalkannya.
"Nggak ada setan yang nemplok gue, ya. Lo kali sawan!"
Setelah perkataan Bara, suasana kembali hening. Tidak semelankolis tadi. Bara dan Samuel diam dalam keadaan menyebalkan karena Samuel tidak membalas lagi perdebatan Bara. Kalau terus disahuti, bisa tidak pulang mereka.
"Dah lah balik ayo!" ajak Samuel.
Ia bangkit lebih dulu sembari menepuk paha Bara. Namun yang diajak pulang masih terdiam. Seperti egonya dari awal, Bara tak ingin pulang. Ia tak mau menginjakkan kakinya di rumah itu. Rumah yang menjadi saksi bisu drama kehidupannya.
"Woi!" Samuel menyadarkan Bara kembali dengan menendang salah satu kakinya. Hal itu sukses membuat Bara kembali mengumpat.
"Duluan aja lo, gue mau di sini aja," kata Bara.
"Mau ngapain? Cabul mayat? Kayak thread-thread horor gitu?"
Bara melotot. "Bacot lo nggak ada didikannya."
"Makanya balik buru, beneran sawan lo lama-lama di sini," ucap Samuel.
Bara menatap Samuel. Tatapan melas yang tidak pernah Samuel tahu sebelumnya. Jijik rasanya, tapi kali ini momennya berbeda. Kalau tidak dalam keadaan kacau Bara, mana sudi Samuel merasakan iba pada anak tengil itu.
Bara tidak berniat membuat tatapan yang terkesan memprihatinkan itu sebenarnya. Namun keadaan Bara yang menyedihkan membuat Samuel beranggapan demikian.
"Ke mana lo kalo lo suntuk di rumah lo sendiri? Pasti lari ke rumah mamah Maya dan papah Imma, kan?" Samuel berucap dengan nada dibuat-buat. Menekan kata "mamah Maya dan papah Imma" yang menjadi sebutan Bara untuk kedua orangtua Samuel.
"Nggak usah kayak anak kucing yang bingung di mana bapaknya, deh. Buru bangun! Balik."
Samuel menepuk bahu Bara dengan keras. Mengajaknya bangkit dari duduk dan pulang.
Pada akhirnya Bara menuruti sahabatnya. Samuel memang selalu bisa membujuknya. Dari mulai bercerita saja selalu Samuel yang memaksanya. Kalau tidak, mungkin Bara masih menyembunyikan sendiri rasa sakitnya.
"Nggak ngerepotin nyokap lo, kan?" tanya Bara di sela langkah mereka menuju parkiran.
Langkah Samuel terhenti mendengarnya. Bara tak pernah mengatakan hal semacam itu selama ini. Samuel sering mengatakan jika Bara merepotkan, tapi Bara tak pernah peduli dengan itu. Ya, jelas saja karena Bara tahu Samuel hanya bercanda.
Namun kali ini Bara yang bicara, sebuah peningkatan untuk kesadaran Bara. Begitu kata Samuel dalam hatinya.
"Lo ngomong gitu nggak ngaca? Pernah nggak lo peduli kalo gue ngomong lo ngerepotin, ha?"
Bara terkekeh, "Karena lo nggak pernah serius ngomong gitu," kata Bara.
Samuel berdecih kemudian melenggang lebih dulu meninggalkan Bara. Sikap Bara tidak mencerminkan dirinya seperti biasa. Kalimat terakhir Bara terkesan lebih manis dari kebiasaan bar-barnya. Membuat Samuel bergidik lama-lama.
Bara tahu Samuel jauh dari kelihatannya. Yang orang-orang lihat, Samuel adalah teman serampangan yang tidak begitu peduli dengan apa-apa. Namun bagi Bara, Samuel lebih dari sekedar teman sepermainannya. Samuel laki-laki, sama sepertinya, tapi Samuel mengerti apapun kondisi Bara.
Bara jadi sayang ... eh, tidak, Bara tetap sayang Belia.
"Yuk, caw!" Bara mengomando Samuel setelah masing-masing dari mereka menaiki motornya.
Samuel menyimpan ponselnya. Sebelum benar-benar melaju, ia sempatkan menggulir benda canggih miliknya itu. Kemudian menyusul Bara yang sudah lebih dulu melesat.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Me and Monday (lagi sambil direvisi)
Teen FictionBara Ajuna Aditama, bad boy kelas hiu yang bandelnya begitu menjengkelkan. Cowok absurd yang benci hari setelah Minggu. Baginya, hari itu adalah kesialannya, kenapa harus di hari Senin? Sayangnya, cewek biasa yang tak berdosa di hidup Bara harus ter...