16. | Marah |

50 5 13
                                    

———

"Kalau suka deketin, kalau sayang pertahanin, kalau cinta perjuangin"
———

"Ayo, Bel!" Bara menggandeng tangan Belia begitu saja saat mereka baru saja keluar kelas.

"Apaan, sih?" ketus Belia. Tentu saja ia masih marah.

Belia melepas kasar genggaman tangan Bara.

"Kan, lo guru les gue," Bara memberi tahu, siapa tahu Belia lupa.

Dan benar saja, Belia memang lupa. Hampir saja ia menepuk jidatnya, tapi sekedar untuk itu pun Belia sangat gengsi melakukannya. Ia tidak mau menjadi bahan tertawaan Bara lagi hanya karena ia lupa dengan kewajibannya sekarang— menjadi guru les Bara.

"Tuh, kan, lupa, makanya udahan marahnya," seakan Bara bisa menebak Belia yang saat itu hanya diam saja.

"Siapa yang lupa?" kata Belia, ck! Belia memang gengsinya tinggi.

"Jadwal kita les, cuma hari Senin, Rabu, Jumat sama Minggu kalo lo mau," ujar Belia, mencari alasan sebenarnya.

Bara menautkan alisnya, "Siapa yang bikin?" tanyanya.

"Gue guru lo dan gue berhak nentuin itu," tegas Belia.

"Nggak ada kesepakatan tentang itu," balas Bara tak kalah tegas.

"Tau ah, males gue ngomong sama lo," Belia pergi begitu saja.

Bara memanggil Belia, tapi Belia tak mau berhenti. Jangankan menyahut, menoleh saja tidak.

"Pacar!"

Langkah Belia terhenti. Dengan suara yang sama, berbeda kata. Dan Bara berhasil mencekal tangan Belia.

"Jaga mulut lo, ya!" Belia melepas kasar cekalan Bara lalu menunjuk bibir Bara dengan tegas. Matanya menatap tajam pada Bara. Sedangkan yang ditatap masih beraninya berekspresi tanpa dosa.

"Lo udah terima gue jadi pacar lo," tukas Bara.

"Gue tarik omongan gue itu," kata Belia mantap.

"Nggak bisa!" Bara menolak keras.

"Lo sendiri yang bilang itu prank, lo permainin gue, lo nyakitin gue tau nggak?" mata Belia mendadak berkaca-kaca.

Bara melihat itu dan itu membuatnya semakin merasa bersalah pada Belia.

Sebelum matanya benar-benar meneteskan air mata, Belia cepat-cepat berbalik dan pergi meninggalkan Bara. Bara tidak lagi mengejar, ia merasa begitu brengsek sekarang.

"Argh!" Bara mengacak rambutnya dengan kesal.

"Makanya jangan suka mainin hati cewek, Bro," Samuel datang dan menepuk pundak Bara.

Bara menoleh melirik Samuel. Kemudian kembali memalingkan wajahnya yang tampak kusut.

"Lo yakin lo beneran suka sama Belia?" tanya Samuel.

"Bukan karena obsesi lo buat dapet kasih sayang dan perhatian dia doang?" sambung Samuel.

"Yang gue perhatiin dari hubungan lo sama mantan lo dulu-dulu, lo semakin lama semakin bosen dan risih sendiri sama mereka, Bar," ujar Samuel.

Bara masih diam menatap kosong objek sekenanya. Samuel benar. Waktu dua tahun sejak saat mereka masuk kelas sepuluh sangat cukup untuk Samuel mengenali Bara.

"Gue bilangin, kurang-kurangin, deh, mainin hati cewek mulai dari sekarang, sebelum sampe lo nikah pilihan lo masih salah," saran Samuel.

Bara menatap Samuel, "Gue nggak nurunin sifat bokap," Bara berkata penuh penekanan.

Me and Monday (lagi sambil direvisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang