34. | Seseorang di Masa Lalu |

70 5 20
                                    

---
"Menjadikan sebuah kenangan bukan kejahatan, meskipun itu kepahitan. You don't have to forget them, because they always be a part of your life."
---
-
-

Samuel Adyaksa

Bara di rumah gue.

Belia menaruh ponselnya setelah membalas pesan tersebut. Satu pesan yang ia dapat dari Samuel membuat lega hatinya. Tidak bisa ditampik bahwa Belia mengkhawatirkan Bara. Ia belum dapat berbaring tenang sepulangnya dari rumah Bara.

Pukul sembilan lewat dua puluh lima menit setelah lima menit pesan tersebut masuk, Belia menjatuhkan dirinya ke atas kasur. Tubuhnya memantul, pun kesadarannya yang sudah hilang timbul.

Rasanya belum lama Belia memejamkan mata, pagi sudah menyapa. Ia mengusap mata, berdecak karena berisik alarm mengganggu heningnya. Belia tidur, tapi seingatnya tidak ada mimpi yang mendatangi.

"Astaga! PR gue belum dikerjain?!" Belia memekik.

Melihat meja belajarnya yang berantakan oleh banyak buku, Belia lebih memilih ke meja itu. Dibanding menuju kamar mandi seperti rutinitas bangun paginya, ia lebih tertarik mendekat ke meja belajarnya. Seorang Belia tak pernah kacau seperti ini. Semuanya tertata rapi. Namun seingatnya, semalaman ia memikirkan Bara, jadi lupa tujuan belajarnya. Ia bahkan belum mengatur jadwal hari ini.

"Bodo amat, yang penting berangkat," dengan asal-asalan, Belia memasukan semua buku yang tergeletak di meja ke dalam tasnya.

Entah sejak kapan Belia bisa seberantakan ini pada urusan sekolahnya. Pendidikan itu dunia penting bagi Belia.

***

Matanya mengerjap untuk kesekian kali. Setelah beberapa kali terganggu cahaya mentari dari celah jendela, kali ini Samuel benar-benar baru mau membuka matanya. Dari pandangannya ke arah balkon jelas tampak matahari pagi sedang sangat cerah. Seakan ada hal bahagia di hari ini nantinya.

"Muka gila! Mepet jam tujuh, Men!"

Samuel berteriak begitu melihat jarum jam dinding di hadapan pandangannya. Ia beranjak cepat dari kasurnya.

"Bar, bangun, Bar! Sekolah, Bego! Biar nggak bego," katanya panik.

"Lah, itu curut mana, anjir?" selimut yang sengaja Samuel tarik paksa nyatanya tak terdapat apa-apa. Ia pikir Bara juga masih bergulung di bawah selimut yang sama dengannya.

Sesaat setelah meraih handuk, langkahnya yang hendak menuju kamar mandi berbelok ke arah balkon. Samuel mendapati Bara yang tengah merokok di sana. Beberapa puntung rokok bahkan berserakan di bawah kakinya.

"Sejak kapan lo ngerokok?" tanya Samuel begitu berada tepat di belakang Bara yang duduk di lantai.

Bara menoleh dan berdiri, menjentikkan ujung rokok pada pembatas balkon. Membuang abu di ujungnya.

"Sejak lo ngorok, sejak tangan lo meluk-meluk gue sembarangan, dan sejak kaki lo nendang-nendang pantat gue," jawab Bara setengah dongkol.

Bukan sejak kapan seperti itu yang Samuel maksud sebenarnya. Namun sejak kapan Bara jadi perokok aktif? Selama Samuel kenal Bara tak pernah sekalipun ia mendapati Bara menikmati lintingan nikotin tersebut.

"Ngibul lo? Mana pernah gue gitu? Kalem gue mah tidur sekalipun," balas Samuel tak percaya.

Bara membuang puntung terakhir di tangannya asal. "Lo tidur, mana sadar."

Me and Monday (lagi sambil direvisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang