---
Lelah tidak harus pasrah kemudian menyerah.
---Pukul 23.45 Bara baru pulang dari basecamp Fire Men. Dengan langkah lelahnya ia mulai memasuki rumah setelah motor kesayangannya ia parkirkan dengan rapi di dalam garasi.
Ia tahu sekarang hari Minggu dan kurang dari seperempat jam lagi memasuki hari Senin. Tidak seharusnya ia keluyuran tanpa tahu waktu, padahal besok ia masih harus sekolah.
Hari Senin. Ada banyak hal yang Bara benci di hari itu. Ia benci kalau harus pagi-pagi sekali bergulat dengan jalanan untuk berangkat ke sekolah. Ia benci kalau harus tergesa-gesa untuk upacara. Ia benci karena ia selalu terlambat dan berakhir terkena hukuman. Ia benci Pak Randi di hari Senin. Ia benci tugas dan mata pelajaran yang seolah sangat sulit di hari itu. Ia benci waktu yang berdetak di hari Senin seakan lebih lama dari hari lainnya. Ia benci karena hari Senin menyiksanya.
PLAK!
Baru saja membuka pintu, sebuah tamparan menyambut kedatangan Bara. Bara sangat tahu telapak tangan milik siapa yang mendarat mulus di pipi kirinya sekarang. Rasanya lelah yang akan Bara rebahkan mulai mengumpul jadi emosi. Ia pikir ayahnya sudah tidur dan seperti biasa tak memedulikannya.
Tamparan dan pukulan bahkan kekerasan fisik lain sering Bara dapatkan dari ayahnya itu. Apa yang membuat sang ayah melakukan semua hal itu? Yang Bara tahu, ayahnya memang keras dan tak pernah benar-benar menyayanginya layaknya anak.
"Bagus, Bara! Jam segini baru pulang, mau jadi apa kamu?!" bentak Yanuar pada Bara, bahkan mereka masih di depan pintu yang baru saja Bara buka tadi.
Bara mengabaikan bentakan Yanuar. Dengan langkah tenang walau emosinya sudah mulai menguap, Bara melenggang masuk rumah.
"Apa gini kelakuan kamu kalau Papa nggak di rumah? Kerjaannya keluyuran, pulang malam, mau jadi berandalan kamu!?" Yanuar membalikan badannya ke arah Bara yang masih melangkah.
Bara pun membalikan badannya untuk menatap Yanuar, "Terus? Papa setiap malem nggak pulang itu apa? Papa ngapain? Nyuruh anak dari istri siri Papa itu tinggal di sini," Bara membalas dengan penuh sindiran.
"Bicaramu yang benar! Jojo Papa suruh tinggal di sini biar bisa ngawasin kamu, biar kamu belajar dari sikap Jojo, bukan jadi seperti anak nggak keurus kayak gini!" Yanuar memaki sikap Bara.
"Heh!" Bara tersenyum kecut.
"Kapan saya pernah keurus? Kapan?! Cuma Nyak Lekha yang dulu mau ngerawat saya. Apa Papa sama mama pernah ngurusin saya?" tanya Bara dengan emosinya.
"Kamu ini! Dasar anak nggak tau terima kasih!" Yanuar hendak kembali memukul Bara.
"Buat apa saya lahir? Cuma buat nerusin perusahaan Papa yang se-tanah air itu? Iya, kan?" ucapan Bara yang sengaja terkesan melebih-lebihkan kekuasaan ayahnya itu menghentikan gerakan Yanuar yang hendak kembali memukul Bara tadi.
"Jaga ucapan kamu!" Tamparan Yanuar pada akhirnya tetap mengenai kepala Bara walau Yanuar sangat ingin menahannya, ego dan emosinya memang tidak pernah kalah kalau keadaannya selalu seperti ini.
Tapi Bara tetap berusaha diam seolah tak gentar dengan kekerasan ayahnya.
"Kenapa? Ucapan saya benar?" lagi-lagi Bara tersenyum kecut, membuat Yanuar semakin geram dengan sikap anaknya yang menantang ini.
"Yang pasti bener, lah," Bara tertawa mengejek, "Bara capek, Pa!" Bara melenggang pergi ke arah kamarnya dengan langkah cepat.
"Papa nggak mau tau, nilai sekolah kamu akhir semester ini harus naik, harus kembali bagus!" seruan Yanuar itu seolah hanya menjadi pengiring langkah Bara, ia memasuki kamar dengan membanting keras pintunya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Me and Monday (lagi sambil direvisi)
Teen FictionBara Ajuna Aditama, bad boy kelas hiu yang bandelnya begitu menjengkelkan. Cowok absurd yang benci hari setelah Minggu. Baginya, hari itu adalah kesialannya, kenapa harus di hari Senin? Sayangnya, cewek biasa yang tak berdosa di hidup Bara harus ter...