When Everthing Seems Bad

802 134 106
                                    

Kedua tangannya begitu erat menggenggam tangan-tangan kecil anak kembarnya memasuki pemakaman. Kaca mata hitam di wajahnya menyembunyikan gurat kesedihan yang selama bertahun-tahun ini tidak pernah bisa hilang dalam hidupnya.


Hanya ada kedua malaikat kecilnya yang menjadi penyemangat hidupnya, malaikat kecil yang di perjuangkan dengan nyawa oleh dia.

"Daddy.. Daddy bunganya ketinggalan." Ungkapan dari sang putri kecilnya membuat pria itu menoleh dan menyunggingkan senyumnya. Berjongkok di depan putra dan putri kecilnya.

"Ah, bagaimana bisa Daddy melupakannya? Kalian tunggu sebentar disini, Daddy akan mengambil bunga untuk Mommy. Jangan pergi dulu, ya?"

Kedua anak kembar mengangguk patuh dengan senyum lebar, membuat pria itu juga tersenyum dan mengecup keduanya penuh cinta.


Tidak lama kemudian, pria itu datang dengan 3 bucket bunga berbeda di tangannya, menyerahkan masing-masing pada anak-anaknya dan berjalan menuju makam yang rutin selalu mereka kunjungi setiap bulannya.

Hingga ketiganya berhenti di depan sebuah makam yang bertuliskan yang membuat sang pria itu sekali lagi dihantam rasa sakit yang sama dalam 5 tahun ini.

"Hallo Mommy, Hyunjin datang lagi bersama Daddy dan Minhee." Sang putra bernama Jeon Hyunjin itu berjongkok di depan makam seseorang yang dipanggil Mommy dan meletakan bucket bunga lily putih favorit ibunya disana.

"Mommy, Minhee dan Hyunjin akan masuk sekolah besok, yeayy. Daddy bilang akan memberikan kami hadiah karena kami telah menjadi anak baik." Ujar Minhee dengan raut bahagianya, membuat sang ayah memejamkan matanya dan ikut berjongkok di depan makam itu.



Jeon Jiyeon. Tulisan di nisan itu membuat sang pria meneteskan air mata dibalik kaca mata hitamnya, dengan tangan bergetar dia mengusap nisan itu.

'Sayang, kau lihat? Anak kita tumbuh dengan baik dan cerdas, mereka sangat aktif dan begitu periang. Aku... aku tidak gagal mendidiknya kan?.' Pria itu, Jungkook berguman dalam hati dengan lirih dengan hati yang sesak.

'Semua ini terasa sangar berat saat kau memutuskan untuk pergi, sayang. Kau meninggalkan dua malaikat kecil kita dan diriku, mereka...mereka selalu bertanya banyak hal tentangmu dan aku tau, mereka menyimpan kesedihan seorang diri." Jungkook memejamkan matanya, mengusap lembut puncak kepala Minhee, putrinya yang terus bercerita dengan antusis tentang perasaanya akan masum sekolah.

'Setiap hari, aku selalu memiliki ketakutan itu, sayang. Aku...aku takut mereka akan bersedih saat teman-temannya menanyakan sosok dirimu, mereka akan merasa kecil dan berbeda setiap hari. Aku begitu takut, mereka tidak tumbuh dengan baik dan menyimpan bebannya sendiri. Aku takut, anak-anak kita, selalu pandai menyimpan lukanya, seperti dirimu, dan aku takut kecolongan dan tidak peka saat melihat mereka baik-baik saja nyatanya tidak.'


Jungkook menggigit bibirnya untuk meredam isak tangisnya, 5 tahun berlalu saat dia harus merawat Hyunjin dan Minhee sendirian, Jiyeon pergi meninggalkannya dengan begitua banyak luka untuknya, meninggalkannya tanpa memberikan kesempatan padanya akan kebahagiaan untuk wanita itu. Jiyeon pergi dan memberikan hukuman psikis untuknya selama ini, rasa sakit dan penyesalan itu benar-benar menjerata hidup Jungkook sampai mati.


Beruntung dia memiliki kedua anaknya sebagai penyemangat hidupnya, yang membuatnya akan terus bertahan dan berjuang hidup sesakit apapun luka yang ia terima karena kepergian istrinya. Dia memiliki tugas besar dari Jiyeon, untuk merawat dan melindungi anak-anaknya, melimpahi anak-anaknya dengan kasih sayang dan memastikan kebahagiaanya.

"Daddy! Daddy janjikan akan membelikan kami es cream setelah ini?" Guncangan Minhee di lengan Jungkook membuat pria itu tersentak dan tersadar dari lamunannya. Pria itu mengangguk dan membawa putrinya dalam pelukannya.

"Tentu saja, sayang. Kita akan makan es cream sepuasnya."

"Asik." Minhee berteriak senang, diikuti dengan Hyunjin.

"Mommy, Daddy begitu baik dan mencintai kami, dia selalu menuruti keinginan kami untuk makan es cream, walau Daddy nanti akan dimarahi Halmoni." Hyunjin kembali mengadu pada Jiyeon, diiringi dengan tawa, sedangkan Jungkook yang melihatnya ikut tertawa, meraih putranya dan memberikan kecupan bertubi-tubi.

"Jadi, kau senang jika Daddy dimarahi Halmoni? Ah begitu rupanya, baiklah kau harus menerima hukumannya." Jungkook langsung mengelitiki putranya yang membuat anak Hyunjin tertawa dan berusaha menghindar.

"Ampun Daddy, ampun, Minhee tolong aku. Ahahaha, geli Daddy, ampun."

Jungkook justru tertawa semakin lebar, sedangkan Minhee yang melihat itu langsung membantu Hyunjin, melancarkan aksinya pada sang ayah, membuat Jungkook mendelik dan balik menyerang putrinya.

"Ah, jadi Minhee lebih membela Hyunjin daripada Daddy? Uh, kau menyakiti Daddy." Jungkook melihat Minhee dengan wajah sedihnya, membuat putrinya itu tertawa dan menghentikan aksinya, lalu memeluk Jungkook begitu erat.

"Minhee sayang Daddy juga Hyunjin, muach." Minhee memberikan kecupan di pipi Jungkook, Hyunjin yang melihat itu tidak mau kalah ikut memeluk Jungkook dan memberikan kecupannya.

"Hyunjin juga sangat mencintai Daddy dan Minhee." Hyunjin lalu mengecup Minhee.

Jungkook tersenyum dengan perasaan bahagia yang membuncah, satu-satunya sumber kebahagiaan dalam hidupnya kini adalah Minhee dan Hyunjin yang bisa mengalihkannya pada rasa sakit yang selalu menyiksanya itu.

'Kau lihat, Je. Mereka sangat mencintaiku, mereka adalah satu-satunya alasanku bertahan hingga sekarang, terima kasih telah memberikan pelipur lara untuk hidupku yang penuh luka. Kehilanganmu, adalah hal yang paling berat yang sampai kapanpun sakitnya tidak akan hilang, tapi kau memberikan sesuatu untuk mengobati lara itu. Aku akan menjaga mereka dengan segenap jiwaku.' Jungkook berguman dalam hati dengan sesak yang semakin menjadi, mendekap erat kedua anaknya, menatap pilu pada nisan Jiyeon.

"Daddy, Mommy paling suka es cream rasa apa?" Tanya Minhee mencubit hidung ayahnya dan kembali memberikan kecupa di pipi Jungkook.

"Vanilla, seperti Minhee." Balas Jungkook membuat wajah Minhee berbinar.

"Yasudah, ayo Daddy aku tidak sabar lagi untuk makan es cream sepuasnya." Timpal Hyunjin membuat Minhee mengangguk setuju. Lalu anak perempuan itu melepaskan pelukan Jungkook, dan mendekat pada nisan Jiyeon, mengusapnya dan berpamitan.

"Mommy, kami pulang dulu ya? Kami akan jadi anak baik agar Mommy bahagia disana. Kami akan makan es cream yang banyak bersama Daddy. Walaupun Daddy akan dimarahin Halmoni." Minher terkekeh di akhir, membuat Jungkook tidak tahan untuk tertawa, kembali menggendong putrinya dan memberikan ciuman bertubi-tubi.

"Ayo sayang." Jungkook menggandeng putranya dan menatap dalam nisan istrinya dengan rasa sesak dan sakit yang kembali menghampiri.

'Sayang, aku berjanji akan mengantarkan mereka pada kebahagian dan kesuksesan kelak. Kau cukup percaya padaku, aku akan melakukan apapun untuk mereka." Jungkook memejamkan matanya, menatap lekat nisan Jiyeon dan berlalu dari sana dengan hati yang berat.



....




Guncangan yang semakin kuat itu menyentak seseorang pria yang tertidur di sofa dengan keringat dingin yang sudah membasahi seluruh wajahnya.

"Ya Tuhan, Jungkook. Sadar." Ujar Wendy menatap kakaknya cemas saat Jungkook akhirnya membuka mata walau tatapannya terlihat linglung dengan wajah berlinang air mata.

"Apa yang kau impikan? Aku baru meninggalkanmu sebentar untuk membuat makan malam?" Tanya Wendy menyadarkan Jungkook, membuat pria itu bangun dan duduk, mengusap wajahnya kasar dengan jantung bertalu kencang.


Mimpinya tadi benar-benar menyakitkan, bahkan rasa sakit dan takutnya masih terasa. Jungkook menatap Wendy yang kini menatapnya dengan raut khawatir dan berkaca-kaca.

Sebulan semenjak dirinya keluar dari rumah sakit setelah diopname selama satu minggu, Wendy lebih sering tidur dirumahnya, adiknya itu kini begitu menjaganya, memperhatikan kesehatan juga pola makannya. Jungkook tidak lagi pernah menginap di kantor, pulang larut malam karena ibunya tidak mengijinkannya. Dia hanya akan memberi kabar tentang Jiyeon melalui ibunya juga foto wanita itu setiap harinya sebagai ganti Jungkook tidak boleh mengunjunginya setiap hari. Jungkook hanya boleh mengunjungi rumah kedua orang tuanya saat weekend.

Jungkook tentu saja tidak membantah, dia merasa memiliki Wendy sebagai baby sitternya sejak keluar dari rumah sakit. Adiknya akan terus menelponnya jika terlambat pulang. Satu bulan lalu, Wendy bahkan membawa koper untuk pindah kerumahnya, mengatakan jika dia memiliki tugas untuk memantau Jungkook dan tidak akan lagi membiarkannya sakit.

"Jungkook!!" Panggil Wendy lagi menguncang bahu Jungkook, membuat pria itu tersentak kaget dan mengusap wajahnya frustasi.

"Aku ingin kerumah, Wendy. Aku... aku ingin bertemu dengan istriku. Aku bermimpi buruk tentangnya, aku mendatangi makamnya bersama anak kami." Ucap Jungkook tercekat mengucapkannya, begitu juga dengan Wendy yang terkejut.

Jungkook lalu beranjak dari sana, tidak lagi memperdulikan Wendy, melirik jam tangannya yang sudah menunjukan pukul 10 malam, lalu meraih kunci mobil di atas dan keluar dari rumah.

"Jungkook, tunggu!! Aku ikut." Wendy berteriak dan menyusul Jungkook.




Tbc

Gimana dengan part ini?
Vote + komentar yang banyak ya ❤

See you next part

DEEPEST REGRET ( END )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang