"Bu, saya punya sesuatu, nih."
"Apa?"
"Taraaa!"
Gwen mengeluarkan setangkai bunga mawar dari balik tubuhnya. Lantas, ia serahkan pada pasien wanita renta di hadapannya.
"Kata Suster Mela, Bu Ina pengen banget bunga mawar, ya?"
Pasien wanita renta tersebut membalas tatapan Gwen. Tapi tangannya tidak mengambil alih bunga yang Gwen ulurkan.
Dia diam untuk waktu yang cukup lama. Menyebabkan Gwen tentunya kebingungan.
“Mawar itu menyakitkan. Kenapa Dokter Gwen ngasih saya itu?”
Gwen tentu saja tergugu. Sejenak, lirikannya beralih pada Suster Mela yang sama-sama bingung. Mereka saling melempar isyarat melalui mata, mempertanyakan apa yang mesti mereka lakukan jika seperti ini kejadiannya.
Pada akhirnya, Gwen pun terkekeh sumbang. Disingkirkan olehnya setangkai bunga mawar itu dari hadapan Bu Ina, salah satu pasiennya yang mengidap depresi akut dan kini tengah menjalani perawatan intensif di rumah sakit.
“Kata Suster Mela, Bu Ina selalu ngomongin bunga mawar. Makannya saya bawain. Mungkin, Suster Mela salah dengar kali, ya?”
“Saya cuma mau mawar yang dibawain sama Jajang. Karena mawar dari Jajang itu gak menyakitkan. Saya suka.”
Bu Ina yang bergumam sambil melempar pandangan jauh ke depan, menarik atensi Gwen kembali. Ia pun memperhatikan gurat wajah Bu Ina. Garis senyum wanita renta itu berkedut, seperti menahan sesuatu yang hendak keluar dari bibirnya.
Tidak lama berselang, Bu Ina malah tersenyum. Menyambut kedatangan angin sepoi yang berhembus di saat bersamaan. “Dokter Gwen?”
“Iya?”
“Saya mau ketemu Jajang.” Kepala Bu Ina menoleh. Membalas tatapan Gwen yang menyiratkan kebingungan. Lantas, ia mengulangi ucapan yang sama, “Saya mau ketemu Jajang, Dok.”
Gwen mengulum bibirnya. Bu Ina tergolong pasien dengan diagnosa depresi akut yang jarang meracau atau menggumamkan hal-hal yang tidak jelas. Tidak seperti pasien depresi lainnya. Namun, mendengar permintaan Bu Ina kali ini, otak Gwen berhenti bekerja untuk beberapa detik. Ia tidak tahu harus menjawab apa.
“Saya mau bunga mawar dari Jajang, Dokter Gwen.”
Tangan Bu Ina meraih tangan Gwen. Di dalam bola matanya, ada harapan yang besar. Senyumnya menghilang bersama angin. Digantikan oleh isakan tertahan, “Saya mau ketemu Jajang. Saya kangen Jajang.”
Jajang adalah putra sematawayang Bu Ina, dan sudah meninggal sebulan yang lalu. Dia terlibat kecelakaan tepat di depan rumah sakit setelah menjenguk Bu Ina. Dan parahnya, Bu Ina melihat bagaimana putranya meregang nyawa dengan mata kepalanya sendiri.
Tiap kali datang, Jajang akan membawakan bunga mawar kesukaan Ibunya. Tapi, semenjak kepergiannya, otomatis tidak ada lagi yang membawakan Bu Ina bunga mawar. Sebab, anggota keluarga yang dimiliki Bu Ina hanya tersisa Jajang saja.
Gwen membalas genggaman Bu Ina. Senyumnya mengembang, “Jajang lagi lihatin Bu Ina, loh, sekarang. Dari atas sana. Jadi, Bu Ina jangan nangis, ya?”
“Saya kangen Jajang… Gak seharusnya dia tertabrak waktu itu…” isak Bu Ina, semakin kencang. Gwen pun melakukan sebisanya. Ia bergerak memeluk Bu Ina, mengusap-usap punggungnya dengan lembut. “Dikeluarin aja semuanya, ya, Bu. Biar Ibu bisa lega. Habis ini, kita ke tempatnya Jajang. Nanti saya yang antar.”
“Bunga cantik kayak gini, kok, dianggurin?”
“Jajang…”
Suasana suram yang sempat mengelilingi Gwen pun langsung buyar dan digantikan oleh keterkejutan. Matanya membelalak, dan ia buru-buru melepas pelukannya dari Bu Ina.
KAMU SEDANG MEMBACA
Heal Me [ C O M P L E T E ]
RomanceRayn Abrian. Siapa yang tidak mengenalnya? Atau paling tidak, siapa yang tidak pernah mendengar namanya? Coba sebutkan siapa orang itu, maka dia akan dianugrahkan sebagai orang terkudet satu jagat raya. Lagipula, mana mungkin tidak ada yang mengenal...