"Siang, Prof."
"Lihat Dokter Gwen, gak?"
"Tadi, kayaknya Dokter Gwen lagi ada tamu, Prof."
"Oh, gitu. Terima kasih, ya."
Memajang senyum singkat, Profesor Adi pun melanjutkan langkah. Ketukan berirama dari sepatu pantofelnya menggema di lorong panjang. Begitu necis gaya-nya dengan dasi teringkat kencang, rambut rapi tersisir ke belakang, serta jas kebangaan yang melekat di badan. Membuat orang-orang yang berpapasan dengannya otomatis merasa segan.
Mata Profesor Adi menelaah berbagai sisi yang mampu dijangkau. Ia butuh Gwen untuk mendapatkan beberapa diagnosis terkait pasien yang baru masuk hari ini. Namun, gadis gempal itu masih tidak ia ketahui dimana rimbanya.
Milo dan Ivy, yang merupakan dokter koas bimbingan Gwen pun, sedari tadi belum berhasil ia temukan juga. Mereka seperti senang menghindar atau enggan berurusan dengannya. Padahal Profesor Adi yakin bahwa ia tidak pernah sedikitpun menyulitkan mereka.
Terangnya lorong akibat bantuan sinar matahari yang menembus jendela di sepanjang jalan. Tepat di kala dirinya menoleh, Profesor Adi menghentikan langkah. Diperhatikan olehnya satu-satunya mobil di parkiran belakang, yang terlihat jelas dari tempatnya berdiri sekarang.
"Tumben ada yang parkir di situ?" gumamnya bertanya-tanya.
Awalnya, Profesor Adi tidak mau mempermasalahkan. Mungkin, parkiran depan sudah penuh, pikirnya. Makannya mobil itu parkir di sana.
Jika saja tidak melihat orang yang dicarinya keluar dari van tersebut, Profesor Adi sudah pasti melanjutkan langkah. Tubuhnya kini menghadap kanan, sehingga ia bisa semakin jelas memperhatikan gerak-gerik Gwen yang nampak tengah berbicara dengan seseorang di dalam van tersebut. Sebelum akhirnya pintu van kembali ditutup, sedangkan Gwen melenggang pergi.
Satu hal yang bisa tertangkap oleh pandangannya dalam setengah detik sebelum pintu van benar-benar tertutup, adalah orang yang samar-samar nongol di rak ingatannya. Wajah mengkerutnya sedikit melunak, tapi langsung tergantikan oleh raut yang mengeras.
"Itu..."
...
Langkah demi langkah Gwen terasa pelan. Ia sengaja mengendurkan ritme pergerakan kakinya karena harus fokus memikirkan berbagai hal. Salah satunya adalah keadaan Rayn, yang akhirnya mau berbicara baik-baik dengannya.
"Gak sama sekali. Saya... gak inget apa-apa, sama sekali."
"Kenapa Mas Rayn bisa gak inget? Terus, apa yang Mas Rayn ingat terakhir kali?"
"Saya juga gak ngerti kenapa saya bisa gak inget apa-apa waktu ketemu Dokter Gwen. Yang saya inget terakhir kali, saya lagi ada di wardrobe studio. Lagi ganti baju. Terus, kepala saya sakit dan saya pingsan."
"Ada seseorang yang mukul Mas Rayn sebelum pingsan? Atau Mas Rayn terbentur sesuatu?"
"G-gak ada. Tiba-tiba aja, kepala saya jadi sakit banget setelah saya lihat, bayangan di cermin rias, gak kayak saya. Terus, saya pingsan karena gak kuat nahan sakit kepalanya."
"Tunggu, tunggu. Bayangan di cermin rias, gak kayak Mas Rayn? Maksudnya?"
"I-iya. Waktu saya ngaca, saya ngerasa bayangan di cermin itu bukan saya. Terus ada suara yang ngomong di telinga saya sebelum saya pingsan."
"Suara? Suara itu ngomong apa? Mas Rayn ingat?"
"S-suara itu... bilang kalau sesuatu yang jauh lebih buruk, baru aja dimulai."
Gwen merasakan bulu kuduknya meremang. Entah mengapa, ia jadi ikut merasakan ketakutan yang sama dengan yang Rayn rasakan waktu dia memberitahu Gwen tentang apa yang terjadi sebelum kejadian di restoran. Gwen pun mengadah dengan embus napas yang kencang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Heal Me [ C O M P L E T E ]
RomanceRayn Abrian. Siapa yang tidak mengenalnya? Atau paling tidak, siapa yang tidak pernah mendengar namanya? Coba sebutkan siapa orang itu, maka dia akan dianugrahkan sebagai orang terkudet satu jagat raya. Lagipula, mana mungkin tidak ada yang mengenal...