Gwen hampir menggila ketika ia tahu bahwa tempat yang didatanginya ternyata tidak seperti yang ia pikirkan. Ketimbang sebuah rooftop gedung yang sangat tinggi dan bisa menghancurkan tengkorak kepala jika terjun dari sana, lokasi yang dikirimkan Aksa lebih seperti kafe dengan suasana hangat didominasi lampu kekuningan.
Pria itu duduk di sudut kafe. Dekat dengan tempat cuci tangan dimana sebuah hand dryer menempel di dindingnya. Pasti, suara berisik yang Gwen kira adalah angin kencang yang mampu menghempas tubuh kurus Aksa, berasal dari benda satu itu.
Butuh beberapa detik bagi Gwen menyiapkan dirinya sendiri. Ia perlu mengontrol perasaannya yang sempat tidak karuan karena memikirkan Aksa yang menurutnya berencana bunuh diri. Bersyukur apa yang ia pikirkan tidak menjadi kenyataan. Sehingga Gwen segera menarik kursi tepat di hadapan Aksa. Yang seketika berhasil menarik perhatian pria dengan kupluk jaket hitam itu.
Ada senyum yang Aksa sunggingkan untuk menyambut kedatangan Gwen. Ia pun berniat memanggil pelayan, agar paling tidak, di atas meja mereka terdapat sajian yang bisa menemani perbincangan. Namun, Gwen sudah lebih dulu bertanya, “Mas Aksa… gak apa-apa, kan?”
Bibir Aksa tidak segera menjawab. Tapi yang jelas, senyumannya meluntur perlahan-lahan. Dirinya diam menatap Gwen lekat-lekat. Jakunnya naik turun, menelan liur karena menahan sesuatu yang berkecamuk di dalam hatinya.
“Saya gak yakin saya bisa bertahan, Dok…”
Gwen lekas menegapkan tubuhnya. Kegelisahan terpampang di dalam bola matanya yang bergerak, menyusuri arti tatapan Aksa untuknya. “Kenapa?”
Kepala Aksa menunduk. Otomatis, pandangannya beralih dari Gwen. Tertuju pada tautan jari jemarinya di bawah meja.
“Saya pikir, saya sudah mengetahui segalanya. Saya merasa sangat bersalah, dan saya harus memendamnya sendirian. Saya menahan diri untuk gak melakukan hal bodoh itu lagi, supaya kejadian itu gak terulang lagi. Saya terjerumus dalam perasaan bersalah yang hebatnya... justru bisa menuntun saya sampai ke titik ini.”
Gwen mendengarkan dengan seksama. Belum berani untuk menyahut karena ia yakin Aksa akan kembali melanjutkan. Pun, Gwen juga belum bisa memahami dengan baik apa yang Aksa maksud. Yang ia tahu, Aksa sedang mencurahkan perasaannya yang nampaknya diliputi kebingungan serta penyesalan.
“Tapi, setelah usaha saya untuk memendam semua perasaan bersalah itu, ternyata ada lebih banyak hal yang gak saya ketahui. Semua usaha saya seperti terbuang sia-sia. Memikirkan ke depan, bagaimana saya harus menanggung perasaan bersalah yang lebih besar karena kenyataan yang ternyata lebih menyakitkan, membuat saya gak yakin...”
Lantas, Aksa mengangkat wajahnya. Sebuah senyum kecil yang ia paksakan, memberi pengaruh yang tidak mengenakkan untuk Gwen yang melihatnya.
“Saya… gak yakin bisa bertahan jika harus menanggung perasaan bersalah sebesar ini.”
Gwen masih enggan membalas. Ia memperlukan waktu untuk mencerna setiap hal yang Aksa katakan.
Beberapa detik kemudian, Gwen mengambil sejumput napas. Lantas ia bertanya, “Memangnya… apa yang baru Mas Aksa ketahui sekarang?”
Gwen bertanya dengan penuh kehati-hatian. Seulas senyum diumbarnya, berharap hal tersebut mampu memberi Aksa sedikit ketenangan.
“10 tahun lalu, saya pernah mencoba bunuh diri. Jika saya mati waktu itu, mungkin saya gak perlu merasa tersiksa seperti ini.”
Gwen tidak tahu harus bereaksi seperti apa. Ia sudah lebih tahu kenyataan ini dari Devon. Namun, tidak mungkin baginya untuk mengumbar hal tersebut di saat orang yang mengalaminya secara langsung, baru berani untuk bercerita sekarang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Heal Me [ C O M P L E T E ]
RomansaRayn Abrian. Siapa yang tidak mengenalnya? Atau paling tidak, siapa yang tidak pernah mendengar namanya? Coba sebutkan siapa orang itu, maka dia akan dianugrahkan sebagai orang terkudet satu jagat raya. Lagipula, mana mungkin tidak ada yang mengenal...