:: Bab XXXIX ::

416 65 3
                                    

Pacar

Pacar, katanya.

Gwen mengeratkan genggamannya pada tali paper bag yang ia tenteng. Aliran darahnya seperti dibekukan oleh semburan es yang dingin. Napasnya pun tercekat, tidak berhasil sampai ditenggorokan. Perpaduan itu lantas memicu degup jantungnya yang meningkat seiring waktu yang berjalan lamban.

Dunia di dalam kepala Gwen menjadi begitu cerah. Kupu-kupu yang berterbangan dari perut dan memberikan sensasi geli memperindah dunia itu. Jari-jemarinya kebas untuk beberapa detik karena pasokan oksigen yang tak berhasil Gwen penuhi.

Kendati ia sering mendengar kata penuh makna tersebut, Gwen masih belum bisa beradaptasi dengan baik. Karena sosok lain dari pria itulah yang sering mengakui Gwen sebagai seorang 'pacar'. Bukan 'dia' yang sebenarnya.

Dan ini menjadi kali pertama bagi Gwen mendengarnya dari si pemilik tubuh sebenarnya itu. Gwen bahkan tak yakin apakah yang didengarnya itu nyata atau tidak.

Bruk!

Pintu yang ditarik dengan kasar, lantas merenggut seluruh imajinasi Gwen. Dirinya hanya bisa mengerjap kemudian ketika seorang gadis muncul dengan dada naik turun serta napas yang terengah-engah.

Tanpa perlu bertanya, Gwen tahu bahwa gadis itu sedang diliputi emosi yang membara. Sehingga, Gwen memilih untuk merundukkan kepala dan mengalihkan tatapan hanya agar tidak mencari gara-gara.

Dan nampaknya, Gwen telah mengambil keputusan yang tepat. Gadis itu beranjak pergi setelah menghentakkan sepatu hak tingginya beberapa kali. Kemarahan yang tertuang melalui hentakan kakinya memenuhi lorong. Tapi tidak cukup memekakan bagi telinga Gwen.

Ketika suasana benar-benar hening, barulah Gwen berani mengangkat wajah. Namun, wajah meronanya terpaksa ketahuan oleh pria pemilik kamar yang ternyata sudah berdiri di hadapannya usai berjalan dengan terseok-seok.

Ada senyum yang menghiasi wajah rupawan bak malaikat itu. Iris coklat terang yang memabukkan miliknya sukses menghipnotis Gwen sampai ia tidak bisa bergerak. Untuk sekedar melengos pun, Gwen tak mampu.

"Kamu sakit, Gwen?"

Suara sarat akan kekhawatiran itu menggelitik telinga Gwen. Darah yang sempat membeku pun, kembali berdesir. Justru menuju wajah Gwen dan memperparah ronanya yang menjadi semakin merah.

Rayn menyipit bingung dengan Gwen yang diam seperti patung. Tangannya hampir terangkat untuk memeriksa suhu tubuh Gwen. Takut-takut gadis itu sedang demam tinggi sampai wajahnya merah begitu. Hanya saja, hal itu mesti ia urungkan ketika matanya menangkap kehadiran sosok mencurigakan di ujung lorong.

Sosok dengan kamera yang tersembunyi di balik bomber jacket itu sudah pasti wartawan 'nakal'.

Tanpa meminta izin Gwen atau menyadarkan dia terlebih dahulu, Rayn meraih pergelangan tangan Gwen dan menariknya masuk ke dalam kamar. Beruntung ia bisa sembunyi dengan cepat. Kalau tidak, bisa-bisa berita mengenai dirinya dan Gwen akan tersiar lagi besok.

Di kala Rayn tengah mengintip melalui celah jendela di pintu, Gwen semakin tidak bisa berkutik karena posisi mereka yang tak punya jarak. Gwen harus berhadapan langsung dengan dada bidang Rayn sementara tangan pria itu melingkari punggungnya. Sentuhan Rayn menghantarkan sengatan listrik yang anehnya tidak ingin Gwen lepaskan.

"Wah..."

Gumam dari gadis yang berada di dalam dekapan —tanpa sadarnya—, mendistrak perhatian Rayn. Ia menurunkan pandangan, yang seketika bertubrukan dengan ekspresi terperangah dari Gwen.

Menyadari bahwa tidak semestinya ia bersikap seperti ini, Rayn buru-buru menjauhkan dirinya. Akan tetapi, Gwen malah menarik bajunya sehingga ia tidak punya kesempatan untuk melangkah mundur. Rayn tentu saja terkesiap oleh aksi Gwen itu.

Heal Me [ C O M P L E T E ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang