:: Bab LXI ::

358 50 4
                                    

Partikel debu yang berterbangan itu menghantarkan sesak yang memeluk dada. Hanya ada seberkas cahaya yang tersisa untuk menerangi bekas kekacauan di dalam sana. Barang-barang terkoyak, rusak tak berbentuk. Semua orang tergeletak di atas tanah, termasuk dirinya yang berusaha untuk tetap bertahan walau sakit menyerang sekujur tubuh.

Jarak pandangnya pendek dan setiap hal yang dilihatnya tampak buram. Jari jemarinya yang bergetar mengharapkan pertolongan. Setiap usaha dilakukannya untuk bergerak walau yang terjadi kemudian sakit di tubuhnya justru bertambah.

Dia hampir hilang harapan. Berpasrah adalah satu-satunya hal yang bisa ia lakukan sekarang. Karena rasanya, terlalu kecil kemungkinan untuknya bisa diselamatkan.

Sampai akhirnya, sepasang kaki yang diseret itu hadir tepat di depan wajahnya. Dengan penglihatan yang terbatas dan keputusasaan yang membelenggu dirinya, dia berpikir bahwa pemilik sepasang kaki itu adalah malaikat maut yang siap menjemputnya.

Dalam hati, dia terenyuh. Bahkan, di waktu terakhirnya, ia bisa melihat sendiri bagaimana dirinya dibawa untuk menghadapi dunia akhir itu. Jika ditanya apa ia pernah membayangkan akan mati dalam keadaan seperti ini, jelas tidak. Memikirkan dirinya mati karena penyakit di hari tua nanti saja, sudah terlalu menakutkan.

Dia benar-benar pasrah. Memaksakan diri untuk tetap membuka mata pun nampaknya hanya sia-sia. Dia hanya menyerahkan dirinya dibawa, dan membiarkan sang ‘malaikat maut’ menggendong tubuhnya yang berbobot di atas rata-rata. Setidaknya, ia tidak mau menambah kesulitan ‘malaikat maut’ itu dengan memberontak.

Saat tubuhnya perlahan diangkat, ‘malaikat maut’ itu menggeram seolah mengerahkan seluruh kekuatan yang dipunya. Sesekali juga mengerang kesakitan. Membuatnya lantas berpikir, apakah ‘malaikat maut’ juga bisa merasakan sakit?

Didorong rasa penasaran, dia pun mengenyampingkan setitik kelegaan yang sempat menaungi dirinya tatkala tubuhnya diangkat dari atas tanah, lantas mengangkat pandangan. Ia berusaha memperjelas apa yang dilihatnya sekarang. Tapi, sayang, buram membuatnya hanya bisa memandangi siluete lekukan wajah yang tidak sedikitpun beralih untuk membalas tatapannya.

Kecuali itu, semua hal perlahan tampak menjadi jelas. Kondisi di sekitarnya yang benar-benar hancur. Reruntuhan bangunan yang terus berjatuhan. Api yang tersulut di seluruh sudut dan menciptakan kebulan asap yang menyesakkan.

Dan yang terakhir, baju berlumur darah dari orang yang menggendongnya itu. Baju yang sisi belakangnya ia genggam dengan sangat kuat. Sekuat ia memantapkan diri untuk menerima kemanapun takdir akan membawanya pergi bersama ‘malaikat maut’ tersebut.

Duar!

Nguuung…

Nguuung…

Nguuung…

Hah!”

Refleksi cahaya yang memantul pada selimut yang ia kenakan, adalah hal pertama yang Gwen lihat. Mimpi itu sukses menghancurkan tidurnya yang lelap —lagi. Bahkan, seolah tidak mau rugi, dengung di telinganya ternyata kembali kambuh dan terasa jauh lebih menyiksa daripada sebelumnya.

Nguuung

Nguuung

Nguuung

Terbangun karena terkejut dan Gwen harus segera memfokuskan diri untuk mengontrol rasa sakit yang berasal dari indera pendengarannya itu. Benar-benar hal merepotkan yang sebelumnya tak pernah Gwen bayangkan akan terjadi di dalam hidupnya.

Dan seperti biasa, ia lekas mengerahkan kedua telapak tangannya untuk menutup telinga sambil terus merapal di dalam hati, ‘Lu baik-baik aja. Lu baik-baik aja. Lu baik-baik aja, Gwen. Lu gak kenapa-kenapa. Lu baik-baik aja.’

Heal Me [ C O M P L E T E ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang