Gwen mendesah pelan, ketika mobil yang ditumpanginya berhenti di parkiran Grace Premier Hospital. Waktu berjalan tanpa terasa. Malam telah datang begitu ia sampai.
Gundah gulana merengkuh perasaannya. Antara yakin dan tidak untuk turun dari mobil itu. Teringat olehnya percakapan beberapa saat lalu.
"Masih mau jalan-jalan?"
Gwen menoleh ketika tawaran itu diluncurkan. Ia menaruh perhatian pada pria di sampingnya. Dia kelihatan masih segar meski sudah melakukan banyak hal hari ini.
"Kamu langsung pulang, kan?" Gwen balik bertanya. Perlu baginya memastikan bahwa Devon akan segera membawa pulang tubuh Rayn ke rumah.
Pria tampan itu mendengus geli, "Kenapa kamu jadi tiba-tiba perhatian kayak gini?"
Tidak langsung menjawab, Gwen hanya menggeleng. Sekali lagi, ia mendesah penuh keraguan. Meski begitu, tidak mungkin baginya untuk tetap berdiam ketika seluruh pekerjaannya yang terbengkalai tengah menunggu di meja kerja.
"Terima kasih buat hari ini." Sambil melepas sabuk pengaman, Gwen memasang senyum simpul pada Devon. Namun, geraknya untuk membuka pintu mobil terhentikan oleh sesuatu yang tidak sengaja ia ingat.
Gwen mengambil sebuah paper bag yang terletak di antara kedua kakinya. Sebuah topi ia keluarkan dari dalamnya. Lantas, tanpa berbasa-basi, ia melepaskan bando tanduk iblis yang Devon kenakan dan menggantinya menggunakan topi putih tersebut.
"Kamu harusnya pakai ini."
Devon tidak banyak bergerak. Bukan murni keinginannya, tapi, tubuhnya yang memaksanya demikian. Ia hanya mampu diam ketika jarak Gwen dengannya hanya tersisa sedikit, selagi gadis itu memakaikan topi di kepalanya.
Seumur hidup, Devon tidak pernah merasakan hatinya sehangat ini. Dulu, ia pernah merasakannya. Dan perasaan semacam ini hanya bisa ia dapatkan dari Ibunya Rayn, yang sayangnya tidak pernah menyadari kehadirannya dan selalu menganggapnya sebagai Rayn.
Kerinduan akan sosok wanita bersenyum teduh itu pun merebak di dada Devon.
Dengan telaten, Gwen merapikan tatanan rambut Devon. Kemudian ia meraih kacamata hitam milik Devon yang tergeletak di dashboard mobil dan memakaikannya.
Pria itu tentu saja senang. "Te—"
"Mungkin, kamu bisa gak peduli sama pandangan orang di luar sana. Tapi, gak semua orang bisa ngelakuin itu. Salah satunya Mas Rayn. Kalau kamu gak jaga diri kamu, bisa jadi masalah, Devon. Gak cuma untuk kamu dan aku. Tapi, juga untuk Mas Rayn."
Seketika, Devon kehilangan minat untuk melanjutkan ucapan 'terima kasih'-nya. Kehangatan yang sempat menjalar pun meredup perlahan-lahan.
"Kamu beneran pulang, kan? Jangan kemana-mana lagi habis ini. Terima kasih udah anterin aku sampai sini. Hati-hati, ya. Bye."
Gwen nampak tidak menyadari perubahan di wajah Devon. Gadis itu buru-buru turun dari mobil begitu ponsel yang ia pegang bergetar —ada telepon masuk—. Lalu, berlari meninggalkan Devon yang terdiam begitu saja, menuju lobby rumah sakit.
Devon mengalihkan pandangan dari punggung Gwen yang telah menjauh. Meremas setir kemudi, tawa sumbangnya menyeruak. Sesaat, ia melepaskan kacamata hitam yang tadi Gwen pakaikan. Setelahnya menatap pantulan wajahnya di kaca mobil.
Tersirat makna yang sangat dalam dari sinar matanya. Remasannya pada setir kemudi pun semakin kencang.
"Kenapa harus selalu lu yang diingat sama Gwen, Rayn? Kenapa harus selalu lu yang diperhatiin sama dia?" Senyum simpul Devon mempresentasikan kekecewaan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Heal Me [ C O M P L E T E ]
RomanceRayn Abrian. Siapa yang tidak mengenalnya? Atau paling tidak, siapa yang tidak pernah mendengar namanya? Coba sebutkan siapa orang itu, maka dia akan dianugrahkan sebagai orang terkudet satu jagat raya. Lagipula, mana mungkin tidak ada yang mengenal...