Seiring dengan berakhirnya berita terbaru mengenai laporan penculikan Daddy-nya, Audy lekas mematikan TV gantung itu. Ia menyandarkan tubuhnya yang masih lemas. Pandangannya yang lesu jatuh pada jendela dimana iring-iringan awan bergerak di atas langit yang biru.
Melamun dirinya. Kesadarannya ditarik ulur ke saat ia harus bersusah payah berlari untuk menyelamatkan diri tanpa bisa membantu Daddy-nya. Mengenang penyesalan terbesarnya itu.
Audy ingat betul bagaimana ketakutan yang menggit sekujur tulangnya begitu melihat Daddy-nya diseret paksa masuk ke dalam mobil itu. Termasuk ketika si penculik, alias Devon, berbalik menatapnya dengan sorot mata yang seakan mampu menikam hatinya.
Dibalik masker dan topi putih itu, Devon menatap Audy dengan kobaran amarah yang membakar irisnya yang berwarna coklat terang. Ingatan itu masih membekas hingga sekarang. Tanpa ia sadari, air mata pun mengalir melalui sudut matanya yang sembab.
Audy jelas tahu bahwa harusnya ia menolong sang Daddy kala itu. Namun, kekuatan dari dirinya yang lemah tak berdaya tidak sebanding dengan Devon yang langsung menghampirinya dengan tawaran yang lebih seperti ancaman. Suara dalam Devon yang terngiang di telinganya, teramat mengerikan.
“Aku akan ngasih kamu kesempatan, sayang. Pergilah.”
“…”
“Gak usah menangis. Pergi sekarang. Cari bantuan untuk Daddy kesayangan kamu. Jangan sampai, aku menarik tawaran ini.”
“…”
“Cepat lari. Kita berlomba. Aku dengan mobilku, dan kamu berlari dengan kakimu yang ramping itu. Kalau kamu menang, kamu bisa selamat. Tapi, kalau aku yang menang, maka nyawa Daddy kamu yang jadi taruhannya. Bagaimana?”
Seperti kembali ke saat itu, saat dimana ia berlari sekencang mungkin dengan kaki telanjang dan mobil Devon yang mengikuti di belakangnya seolah bersiap menerkam, Audy langsung meringkukkan tubuhnya.
Kehabisan napas, perih yang menjalar di telapak kaki, sendi yang terkilir, pusing dan lemas, semuanya Audy tahan demi memenangkan ‘perlombaan’ itu. Ia bahkan masih tidak percaya bahwa ia berhasil sampai di Grace Premier Hospital sementara Devon entah hilang kemana. Membawa pergi Daddy-nya.
“Daddy harus selamat… Daddy harus selamat…” isak Audy, bersembunyi dibawah selimut yang menutupinya dari ujung kepala hingga ke ujung kaki serapat mungkin.
…
“Setidaknya, dia sudah berupaya semaksimal mungkin. Bukan begitu?”
Setelah mematikan koneksi internet yang memberinya akses untuk menonton berita terbaru itu, Devon langsung melemparnya ke bawah tanah tanpa perlu pikir panjang. Dengan berdirinya ia di tingkat paling atas konstruksi terbengkalai itu, ponsel tersebut pun langsung hancur lebur sesampainya di tanah.
Ia lalu terduduk dan meratapi tubuh Bos Tommy yang terayun oleh angin. Dia terikat dan digantung pada sebuah tower crane. Melayang di atas ketinggian lebih dari 20 meter.
Matanya ditutup sebilah kain hitam. Hanya tersisa bibir yang menjadi satu-satunya akses untuknya berkomunikasi. Terus berteriak ketakutan saat tubuhnya terhuyung kesana kemari dan Devon justru tertawa karenanya.
“Menyenangkan, kan? Bayangkan diri anda seperti burung yang bisa terbang bebas. Wuush!”
Devon bangkit, merentangkan tangan, dan berjalan di sebilah kayu yang terlentak di tepian atap. Menggerakan kedua tangannya seirama layaknya kepakan burung. Sedikit saja pijakannya meleset, bisa-bisa dirinya yang mati terkapar di bawah sana dengan darah yang membanjiri permukaan tanah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Heal Me [ C O M P L E T E ]
RomantizmRayn Abrian. Siapa yang tidak mengenalnya? Atau paling tidak, siapa yang tidak pernah mendengar namanya? Coba sebutkan siapa orang itu, maka dia akan dianugrahkan sebagai orang terkudet satu jagat raya. Lagipula, mana mungkin tidak ada yang mengenal...