“Hati-hati di jalan, Dokter Gwen.”
“Ya. Duluan, ya, Suster,” sahut Gwen dilengkapi senyum yang merekah, serta langkah yang sempat melambat ketika menyusuri lorong untuk mencapai lift. Padu padan kaus hijau army, celana tujuh per-delapan berwarna khaki, oversized cardigan berwarna senada celananya, juga sepasang sneakers putih membuat tampilan gadis gempal itu menjadi jauh lebih casual dan santai. Tentu saja tanpa adanya jas dokter berwarna putih yang seharian melekat pada tubuhnya.
Selagi menunggu pintu lift terbuka di hadapannya, dering telepon menginterupsi keisengan Gwen yang tengah menyenandungkan semua lagu yang sekelebatan mampir di ingatan. Ia pun mengeluarkan ponsel dari saku celana, dan langsung menggeser tombol hijau yang ada usai mengetahui siapa yang mencoba menghubunginya sekarang.
“Halo, Papa?”
“Gwen, udah mau pulang?”
“Iya, ini lagi nunggu lift. Kenapa, Pah?”
Ting!
Bertepatan dengan dirinya yang menanyakan alasan sang Papa menelepon tiba-tiba, pintu lift yang sejak tadi ditunggu akhirnya terbuka. Bergegas langkahnya masuk ke dalam, tanpa repot untuk menilik siapa saja yang berada di dalam satu lift yang sama dengannya. Gwen terlalu sibuk mendengarkan jawaban Papanya yang terdengar begitu antusias, “Kita makan malam di luar, yuk, Gwen.”
“Hah? Makan malam di luar? Tumbenan Papa ngajakin makan di luar? Emangnya Papa gak masak?”
“Gak, lagi males aja. Habisnya, setiap Papa masak gosong terus.” Tawa Gwen pun menyembur keluar mendengar suara sang Papa yang jadi lemas dalam sekejap, “Ya berarti Papa butuh belajar lebih banyak lagi. Coba, deh, sekali-kali, tuh lihatnya buku resep. Jangan youtube terus.”
“Ya udah, nanti kita beli buku resep. Tapi, kita makan malam di luar dulu, ya?”
“Iya, iya. Papa siap-siap aja. Nih, Gwen bentar lagi ke parkiran.”
“Eh, Papa justru udah siap ini.”
“Loh? Kok, cepet banget? Nanti nunggu aku lama, tahu.”
“Kita ketemuan di restorannya aja, Gwen. Restoran tempat kita biasa makan aja. Papa bisa, kok, naik bus. Jadi kamu gak usah jemput Papa dulu.”
“Oh, gitu. Ya udah, deh. Gwen nanti langsung ke sana.”
“Oke, sayang. Kamu hati-hati, ya. Jangan ngebut, loh.”
“Iya. Papa juga hati-hati. Jangan mainan ponsel pas di bus. Bye, Papa.”
“Bye.”
Gwen pun langsung menurunkan ponsel yang sedari tadi menempel pada telinga, dan menyimpannya kembali ke dalam saku celana. Ia bergegas keluar dari lift, menuju lobby rumah sakit yang tampak lebih lengang karena sudah pukul delapan malam.
Dipercepatnya langkah, hampir seperti berlari. Namun, pergerakan Gwen itu harus berhenti begitu seseorang merangkul lehernya —lebih seperti mencekik— dan berdehem keras di atas erangan sakitnya.
"Ceritanya ada yang lagi deket sama cowok, tapi gak mau cerita-cerita, nih, Vy." Itu adalah Milo yang mencebik, dan melanjutkan langkah dengan santai, alih-alih melepaskan rangkulannya yang menyiksa Gwen.
Sahutan terdengar dari Ivy yang mendengus, "Tahu, nih. Parah banget. Padahal, kalau kita ada apa-apa, kita pasti cerita. Masa ini, deket sama cowok gak mau cerita-cerita. Mentang-mentang cowoknya ganteng."
KAMU SEDANG MEMBACA
Heal Me [ C O M P L E T E ]
RomantizmRayn Abrian. Siapa yang tidak mengenalnya? Atau paling tidak, siapa yang tidak pernah mendengar namanya? Coba sebutkan siapa orang itu, maka dia akan dianugrahkan sebagai orang terkudet satu jagat raya. Lagipula, mana mungkin tidak ada yang mengenal...