Sebagai suguhan kepada tamu yang kehadirannya terlalu mengejutkan, Gwen meletakkan satu cup kertas yang diisi kopi. Hanya dengan mengeluarkan tujuh ribu rupiah, mesin kopi otomatis yang tak jauh dari ruangannya bisa membantu Gwen agar perbincangannya dengan Devon tak akan terasa hambar.
Di waktu yang sama dengan Gwen yang meletakkan cup untuknya, Devon mengamati ruang kerja gadis itu. Rasanya seperti sudah cukup lama tubuhnya tidak memasuki ruangan tersebut. Dan dengan Gwen yang kini duduk di seberangnya. Mengarahkan sorot mata menyelidik yang sukses memancing tawa untuk keluar.
"Kamu kelihatan gak senang kalau aku ada di sini, Gwen."
"Kenapa kamu ada di sini?"
Devon mendengus, "Emangnya salah kalau Brand Ambassador datang ke tempat yang emang harusnya dia promosiin?"
"Kamu... muncul bukan karena mau ngelakuin rencana kamu itu, kan?" Gwen bertanya dengan keraguan yang memenuhi suaranya. Kerut-kerut yang muncul di mimik mukanya menampakkan kewaspadaan.
"Rayn itu emang mulut ember, ya." Devon membubuhkan tawa sinis untuk melengkapi sindirannya.
"Jangan alihin pembicaraan, Devon."
Mendengar teguran Gwen, Devon semakin tak kuasa menahan gelak tawanya. Ia mengubah posisi duduknya untuk beberapa saat. "Kamu itu bukan ngekhawatirin aku, Gwen. Jelas, kamu cuma ngekhawatirin Rayn."
"Devon—"
"Terima kasih untuk kata-kata kamu kemarin. Sejujurnya, itu cukup menyentuh buat aku. Tapi sayangnya, itu aja gak cukup untuk menghentikan aku. For your information," sela Devon seraya menyunggingkan senyum miring. Kedua tangannya bersilangan di depan dada.
"Aku... bukan orang baik seperti yang kamu bilang."
Keresahan ikut mengalir di dalam darah Gwen yang terpompa ke jantung. Degup dari organ vitalnya yang satu itu pun semakin tidak menentu. Mendapati tatapan dingin Devon padanya, sukses membuat lidah Gwen kelu.
"Aku... bukan orang baik, Gwen. Aku akan melakukan apapun untuk ngabisin bajingan itu. Karena dia gak pantas hidup di dunia ini."
Rahang tajam itu mengeras ketika Devon menjatuhkan kepalan tangannya di atas meja. Gwen sampai terkesiap karenanya.
"Dan Rayn juga setuju dengan rencana itu. Jadi, kamu gak perlu khawatir. Toh, dia sanggup terima resikonya."
Secepat kilat, kelopak mata Gwen terangkat. Sehingga ia punya kesempatan untuk membalas tatapan Devon yang dipenuhi kilat marah. Berbanding terbalik dengan bibir kemerahnnya yang mengulas senyum lebar.
"A-apa?"
"Mustahil kalau Rayn gak marah begitu tahu bahwa orang yang udah ngehancurin keluarganya, ternyata adalah bos yang selama ini dia hormatin. Dan kamu pikir, dia gak punya keinginan untuk balas dendam?"
Bola mata Gwen mulai bergetar. Devon melunturkan senyumnya ketika tatapan Gwen tidak sepenuhnya lurus ke arahnya. Ditemani gigi yang bergemelutuk, ia kembali menghasut.
"Rayn punya keinginan itu, Gwen. Dan dia setuju untuk ngehabisin bajingan itu sama-sama. Dia... gak sebaik yang kamu pikir."
Benang pernyataan antara Rayn dan Devon yang melintang dalam keadaan kusut, menyebabkan kepala Gwen berdenyut nyeri. Rayn bilang, dia mau menghentikan penderitaan ini dengan baik-baik. Tapi, kenapa dia bisa menyetujui rencana Devon untuk membunuh Bos Tommy?
"Tapi, Mas Rayn bilang—"
"Dia mau menyelesaikan masalah ini dengan cara baik-baik. Dia mau cari tahu rencana yang aku buat supaya rencana itu bisa kalian gagalin. Dan dia mau menyatukan kami supaya gak ada semakin banyak masalah yang muncul."
KAMU SEDANG MEMBACA
Heal Me [ C O M P L E T E ]
RomanceRayn Abrian. Siapa yang tidak mengenalnya? Atau paling tidak, siapa yang tidak pernah mendengar namanya? Coba sebutkan siapa orang itu, maka dia akan dianugrahkan sebagai orang terkudet satu jagat raya. Lagipula, mana mungkin tidak ada yang mengenal...