"Lintang! Bangun Nduk."
Suara teriakan nyaring nan lembut itu membangunkan seorang gadis yang tengah bergulat dengan selimutnya. Sekarang tepat pukul tujuh pagi. Suara jam weker miliknya membuat Lintang terlonjak dari kasur.
"Astaga! Aku udah telat!"
Lintang segera bersiap untuk sekolah, dengan terburu-buru pastinya. Bahkan buku-buku tidak sampai tertata rapi, ada yang menekuk kesini ada yang terbalik. "Bu! Aku berangkat, yo?" serunya dengan berlari menuruni tangga.
"Lintang jangan terburu-buru kalau turun dari tangga!" tegur sang ibu. Namun juga tak diindahkan oleh Lintang. Saat ia menginjak anak tangga yang terakhir, langkahnya terhenti.
"K-kak Janar?" ujarnya pelan saat ia melihat seorang bersurai hitam tengah berbincang-bincang santai di sofa bersama ayahnya.
"Eh, Lintang udah mau berangkat ya?" tanya sang ayah. Andre menurunkan kacamata yang menggantung di hidung mancungnya. Lintang hanya mengangguk pelan, tidak percaya jika Janar tiba-tiba menginjakkan kaki di rumahnya. Pasti ada sesuatu.
Lantas cowok yang juga berkacamata itu menoleh dan melayangkan senyum. "Pagi Lin," sapa Janar dengan senyum lebar yang terpatri.
Membuat Lintang mengerjap kikuk. "Ha?-ah, Pagi juga Kak," ujarnya.
"Jadi, Janar benar gak ngerepotin nih?"
"Apanya yang ngerepotin?" Lintang duduk di samping ayahnya, menatap penuh tanda tanya dengan menggigit roti yang baru disodorkan Alisa.
"Kamu barengan sama Janar ya?"
Lintang mengerjap kaget. Di dalam hati ia mengumpat— what the hell?! Ngapain harus bareng kak Janar sih? Bukannya benci atau tidak suka dengan cowok itu, Lintang malah menyukainya. Janar itu soft, perhatian, dan ramah. Pas dengan kriterianya, tapi bukan berarti memenuhi kriteria itu harus dekat. Dibalik sikap Janar yang seperti itu, ada sesuatu yang disembunyikan. Sesuatu yang misterius, sama seperti Yanto. Membuatnya agak menjaga jarak, karena Lintang tahu Janar pasti ada kaitannya— atau mungkin mengetahui sesuatu tentang semua ini.
"Iya gak apa-apa Tante," ujar Janar dengan senyum manisnya, yang nyatanya malah membuat Lintang agak bergidik ngeri.
"Yaudah, lebih baik sekarang kalian berangkat, nanti keburu telat masuk nya," kata ibu Lintang.
Lintang yang awalnya ingin melayangkan protes hanya mengangguk pasrah, lalu berpamitan dengan ibunya. "Aku berangkat Bu!"
"Iya, hati-hati loh di jalan!"
"Lo kok gak bilang kalau indigo?" tanya Janar dengan sedikit berteriak karena posisi mereka saat ini ada di jalan raya.
"Emang aku harus ngasih tau Kak Janar?" tanya balik Lintang.
Terdengar helaan nafas dari Janar, "Bukan gitu, gue dengar dari Awan kalau Lo gak pengen gua atau siapa pun kena masalah, apa itu bener?"
Lintang hanya diam.
"Lin dengarkan gua, meskipun sebenarnya gua sendiri takut sama hal-hal kayak gitu tapi Lo juga bisa bicara ke gue. Gua kakak Lo, meskipun kita gak sedarah," jelas Janar.
"Aku cuma takut Kak Janar bakal menjauh," ujar Lintang pelan.
Janar tersenyum lebar, "Mana mungkin gue bisa jauh sama adik kecil gua?" Ternyata sesederhana itu alasannya. Janar sudah bisa memprediksi hal itu. Lintang takut, akan mengalami apa yang seperti ia alami dulu sekali. Bahkan sampai sekarang itu masih menjadi rahasia, tidak ada yang tahu kecuali Janar sendiri dan orang terdekatnya. "Gua juga pernah kok ada diposisi Lo sekarang ini."
KAMU SEDANG MEMBACA
No Soul ✓
Horror"Lo nggak akan pernah bisa nyelamatin temen-temen yang nggak berguna itu." "Mungkin, tapi setidaknya mereka bisa pergi dengan tenang ke alam mereka." ___________________________ "Lu beneran bisa liat?" "Jelaslah! Orang aku punya mata, ya buat liat!"...