19. Janar

127 28 4
                                    

"Kenapa kamu ndak cerita sama aku sejak awal?" tanya Lintang sambil menyilangkan kakinya.

"Gua gak mau Lo tambah khawatir Lin," jawab Awan yang terus menunduk menatap ke arah sepatunya.

Lintang menghela napas, "Tapi kamu udah buat aku jadi tambah khawatir Wan!"

"Sebenernya gua juga mau ngasih tau Lo, tapi bang Hasim ngelarang!" Awan sudah menjelaskan dari lima belas menit yang lalu. Secara detail, dan rinci. Namun Lintang tetap saja mendesaknya, gadis itu masih tidak mempercayai Awan. Lintang merasa masih ada sesuatu yang disembunyikan oleh cowok itu. "Gua udah jelasin yang sebenernya Lin."

"Terus mana buktinya?" Lintang memiringkan kepalanya lirih.

"Maksud Lo?"

"Katanya kamu tau dimana arwah mas Hasim, sekarang dia dimana?"

Awan jadi gelagapan dibuatnya. "A-ada, pokoknya dia ada disini. Tapi katanya kita gak boleh ngasih tau, Lo harus cari sendiri," ujarnya dengan memelankan suara di akhir kalimat.

Lintang mengangguk-anggukkan kepalanya. "Oke deal, aku bakal cari dia."

"Jadi, Lo udah maafin gue?"

Lintang menatap cowok itu lamat-lamat. "Wani piro?" tanyanya sambil tersenyum miring.

Awan menghela napas sembari bola matanya berotasi. "Hadeh udah gua duga, gua traktir es krim sama bakso di bi Ijah deh! Gimana?"

Lintang mengetuk-ngetuk dagunya menggunakan jari telunjuk, seolah mempertimbangkan tawaran Awan yang sedikit membuatnya goyah. Setelah beberapa detik berpikir gadis itu kembali mengangguk, "Aku terima tawaran kamu."

Awan diam-diam membatin senang. Mudah sekali memang membujuk Lintang, hanya dengan makanan atau uang saja gadis itu bisa berubah pikiran dengan cepat seperti saat ia memakan tiga donat dalam waktu dua menit.

"Tapi ajak kita juga dong!"

Seketika Awan membeku, menahan napas kala melihat dua orang yang tiba-tiba muncul tanpa diundang di belakang Lintang. "Lah ngapa jadi pada ikut sih? Kan gue cuma nawarin Lintang doang!" kata Awan protes, tak setuju kalau harus menambah member untuk acara makan bakso di warung bi Ijah. Bisa-bisa uang jajannya dipotong karena habis hanya untuk melayani mereka bertiga.

"Hei, kita itu sahabatan. Kalau Lo ngajak salah satu dari kita bertiga, yaaa... otomatis yang lainnya bakal ikut juga!" balas Alea enteng dengan tampang yang tidak menunjukkan rasa bersalah sama sekali.

"Yaudah nanti Lo berdua ikut, tapi bayar sendiri."

"Ya gak mau lah! Orang kita niatnya numpang traktir, kalau bayar sendiri ya percuma bambang!" Mega ikut menimpali.

Awan membuang napas panjang, "Oke-oke nanti gua traktir, tapi Lo berdua kudu anggap semua hutang gua lunas. Awas aja sampai nagih masih ke gua!"

Alea dan Mega tanpa pikir panjang langsung mengangguk, "Iya deh!" ucap mereka berbarengan. Awan menyodorkan tangannya untuk berjabat tangan, sebagai bentuk kesepakatan yang dibuat. Yang diterima oleh Mega.

"Udah baikan nih?"

Dewa yang sedari tadi menunggu di bangku lain meregangkan otot-otot sendinya. Menunggu Lintang untuk memaafkan Awan saja membuatnya lelah, itu juga karena Lintang sendiri yang terus bersikeras mengajukan pertanyaan-pertanyaan secara rinci seperti polisi mengintrogasi tersangka. Apalagi saat mengajukan syarat-syarat tertentu yang membuat Dewa merinding sendiri. Ternyata gadis itu lebih banyak menggunakan logikanya, terlalu mempertimbangkan daripada Mega dan Alea yang asal mengatakan 'iya'.

"Oh iya, masalah uang jajan Lo gua bantu bayar deh."

"Eh beneran Bang? Makasih banget loh!" Awan berteriak kegirangan.

No Soul ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang