10. Maaf

267 70 30
                                        

Voter ke berapa nih?

Happy reading 🌼

"Maafin aku, Radit." Lintang menundukkan kepalanya.

Radit hanya menggeleng pelan, "Nggak apa-apa kok, lu sama sekali nggak salah." Cowok itu tersenyum tipis.

Sekarang ini mereka berdua ada dalam dunia mimpi Lintang. Duduk berdua di atas rumput hijau yang asri.

"Tetep aja, aku ngerasa bersalah atas kematian kamu," kata Lintang. "Kalau aja kamu nggak deket-deket sama aku, ini nggak akan terjadi."

Cowok itu tampak menghela napas, "Yah, namanya juga takdir. Kita nggak akan pernah tau kapan kematian menghampiri, nggak ada yang tau kapan seseorang mati. Jangan suka nyalahin diri sendiri," terang Radit, cowok itu melirik ke arah perutnya yang terdapat luka tusuk.

Berbeda dengan Radit yang tenang saja, Lintang jadi gelisah sendiri. Bahkan gadis itu heran, kenapa Radit bisa setenang itu padahal dia sudah dibunuh? Memang di dunia ini manusia bermacam-macam sifatnya. "Siapa pembunuhnya, kamu liat?"

"Gue nggak tau itu siapa, soalnya dia pake masker. Dan gue juga nggak ingat sepenuhnya, gue cuman ingat dia kayak marah sama gue gara-gara nembak lu kemarin. Terus dia mukulin gue, sampai bangun-bangun eh gue udah di alam lain." Radit tertawa kecil saat menjelaskannya, baginya itu hal yang lucu.

Lintang mengusap dagunya, "Bentar-bentar, bukannya pas kamu nembak aku itu gak ada orang? Kok bisa dia tau kamu nembak aku?"

"Itu yang masih jadi misteri, gue yakin dia mata-matain lu Lin." Radit ikut mengusap dagunya sama seperti gadis di depannya ini.

"Hm, mungkin sih. Tapi siapa juga yang mau mata-matain aku? Gabut banget hidupnya."

"Nah, bener banget!" Radit menjentikkan jari, "Gak punya kerjaan amat, tapi pasti semua orang penasaran sama hidup lu."

Lintang tersenyum kecut, "Emang apa yang bisa diceritakan dari hidup aku? Semuanya garing." Iya, memang garing. Karena Lintang sendiri tidak mau menyiramnya dengan air. "Jadi sekarang tubuh kamu masih ada di gudang?" tanyanya mengalihkan topik.

Radit mengangguk pelan, "Hm, tolong cariin ya? Gue mau dikuburin dengan layak." Radit memohon, "Gue nggak mau jadi arwah penasaran cuman gara-gara gak ada yang nemuin mayat gue, kayak di film-film gitu." Radit bergidik ngeri sendiri, padahal dia juga hantu.

Lintang tertawa kecil, "Iya, kamu tenang aja. Aku bakal bilang ke temen-temen buat bantu cari tubuh kamu di gudang."

"Makasih ya Lin, lu baik banget."

"Iya, sama-sama." Lintang tersenyum tipis, jadi yang dia lihat dengan Mega saat itu adalah Radit. Tapi, entah kenapa Lintang masih merasa tidak tenang, dilihat dari postur tubuh siswa yang kembali ke sekolah saat maghrib itu berbeda.

"Selama 40 hari terakhir ini, gue bakal selalu jaga lu dari psikopat kejam itu. Jadi lu tenang aja, gue bakal selalu bersama lu."

"Tapi udah ada banyak yang ngikutin aku," Lintang geleng-geleng mengingat setiap ia berjalan, ada saja yang menguntit di belakangnya.

"Tapi semuanya kan cuman pada minta tolong sama lu, nggak ada yang niatnya jaga atau ngelindungin."

"Hm, bener juga sih. Jadi nambah babu dong."

"Heh, gue bukan babu lu!" pekik Radit tidak terima.

Lintang mengernyit, "Lah, katanya tadi mau ngelindungin aku. Mau ikutin aku kemana aja aku pergi."

"Iya tapi cuma jagain doang, bukan jadi babu," cerca Radit jengkel.

"Hehe iya-iya aku ngerti kok." Lintang tertawa melihat ekspresi Radit yang sudah tak karuan. Gadis itu memejamkan matanya. Membiarkan angin menerpa wajah cantiknya. Lintang ingin menikmati angin segar seperti ini, kalau bisa setiap hari. Tidak ada gangguan, ataupun ancaman.

No Soul ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang