25. Ujian Paralel

170 24 0
                                    

Lintang sedang berdiri tegak di depan ruang pertemuan. Namun ada yang aneh dengan gadis itu. Terlihat seluruh tubuhnya bergetar. Gugup? Bahkan pelipisnya dibanjiri oleh air keringat yang mengalir secara otomatis seperti air keran. Karena hari ini adalah ujian tes soal, untuk masuk ke dalam organisasi OSIS. Di dalam sistem seleksi penerimaan calon OSIS baru di SMA Lokatara ini sedikit berbeda dengan kebanyakan, mereka lebih mengutamakan kualitas otak daripada fisik.

Ada Alea, Mega dan teman-temannya di belakang.

Menyemangati.

Ingat, mereka hanya menyemangati bukan membantu.

"Aku ndak bisa ngelakuin ini," kata Lintang pasrah sembari mendaratkan dirinya di kursi tunggu di depan ruangan. "Ini ndak mungkin," imbuhnya. Lintang kembali meneguk segelas jus jeruk sampai tersisa setengah. Itu adalah gelas ketiganya. Gadis itu sudah lama berdiri disana dengan teman-teman gak ada akhlak yang masih setia memaksanya.

"Ayolah Lintang, Lo pasti bisa. Daniel udah daftarin Lo!"

Sedangkan yang disemangati hanya menghela napas panjang, "Aku yakin itu malah membuatku semakin dipermalukan," ujar Lintang dengan intonasi pasrah, lalu menyandarkan punggungnya ke kursi. Seolah sudah menyerah, karena saingannya bukan main. Hanya melihat siapa lawannya saja sudah membuat ia patah semangat.

"Lo pasti bisa. Masa belum aja mulai perangnya, Lo udah nyerah?" Mega memegang pundak Lintang. Berusaha menguatkan tekad gadis itu.

"Kalau lawannya seumuran sih aku tenang-tenang aja, lha ini dari kelas yang lebih tinggi mana bisa?!"

"Lo itu pinter Lin, masa cuma tes gini aja susah?"

"Bukan masalah susah mudahnya Al, tapi bagi aku masalah yang sebenernya itu terletak di lawan mainnya." Lintang memijat pelipisnya, "Kalau aku yang menang, udah pasti semuanya bakalan bully aku kan? Mereka pasti mikir, 'adik kelas sok belagu'."

Alea, Mega dan anak-anak lain yang mendengar alasan dari ketakutan Lintang spontan tertawa terpingkal-pingkal.

Lintang heran melihat temannya malah tertawa saat mendengar penuturannya, "Kenapa ketawa? Aku salah ngomong?"

"Gak kok, cuman alasan Lo lucu aja sih menurut kita." Alea sampai bertepuk tangan, kagum dengan jalan pikir Lintang yang unik. "Gua yakin Lo bisa ngalahin mereka. Dan juga kalau mereka ngebully, gak akan juga nyenggol Lo. Atau habis mereka di tangan Bang Hasim," tuturnya sambil tersenyum miring.

Lintang menganggukkan kepalanya, "Hm, bener juga ya. Sekarang aku punya mas Hasim disini."

"Yaudah kalau gitu, cepetan masuk!"

Lintang membuang napas panjang, memantapkan kakinya untuk melangkah ke dalam. Ia langsung mengambil duduk di kursi paling belakang, tentu saja Lintang tidak ingin terlihat mencolok. Beberapa orang sudah memandang dengan tatapan sinis, tapi diabaikannya. Ia tidak ingin terlalu ambil pusing dalam soal ini. Kalah dan menang dalam seleksi itu sudah hal yang wajar.

Hal tidak wajar itu adalah, orang-orang yang tidak menerima kekalahan mereka dengan membenci orang lain.

"Mari kita mulai tesnya."

Suara kepala sekolah mengudara keras, memenuhi seisi ruangan. Membuat Lintang langsung bergidik ngeri mendengarnya, ia tidak berani menatap ke arah pria itu. Pesan Mada masih melekat di otaknya. Jangan menatap matanya— lagipula, sebenarnya Lintang juga tidak ingin melihat wajah pria itu. Dari auranya saja sudah terasa menyeramkan.

Kertas putih diberikan, berisi coretan tulisan yang membuat Lintang semakin heran. Apalagi suara Harun berdengung keras saat membacakan aturan-aturan yang membuatnya tak habis pikir.

No Soul ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang