DUA PULUH LIMA

987 159 16
                                    

Revan membawa nampan berisi bubur yang masih mengepulkan uap panas dan segelas air putih untuk Airyn yang masih belum sembuh dari sakitnya. Tetapi saat masuk ke dalam kamar, tempat tidur Airyn kosong. Revan menduga kalau saat ini Airyn sedang berada di dalam kamar mandi.

Revan menaruh nampan di atas meja belajar dan berjalan ke arah pintu kamar mandi yang berada di dalam kamar Airyn.

"Ryn ... Airyn." Revan mengetuk pintu kamar mandi

"Iya Kak," jawab Airyn.

"Ngapain kamu di dalam? Kamu nggak lagi siap-siap ke sekolah kan?" Pagi-pagi sekali Revan sudah mewanti-wanti Airyn untuk tidak ke sekolah hari ini karena kondisi Airyn masih lemah.

Revan takut kalau Airyn akan jatuh pingsan di sekolah, sehingga Revan mengutus Mang Uung untuk mengantar surat sakit ke sekolah Airyn.

Pintu kamar mandi terbuka. Nampak Airyn yang keluar dari dalam kamar mandi dengan wajah yang sedikit segar sepertinya Airyn baru selesai cuci muka. Revan segera memegang lengan Airyn dan menuntunnya ke tempat tidur karena melihat Airyn yang meringis kesakitan dan tampak masih susah berjalan.

"Kamu jangan mandi dulu. Kalau masih lemah jangan bangun dari tempat tidur dulu." kata Revan kuatir.

"Iya aku nggak mandi. Tadi hanya cuci muka. Aku sekalian pipis juga, nggak mungkin aku pipis di tempat tidur kan Kak? Aku nggak selemah itu kok. Jangan kuatir," balas Airyn sambil memegangi perutnya dan meringis pelan.

"Jangan bohongi Kakak. Kamu masih sakit. Kakak hari ini ngajar hanya satu kelas di jam lima sore, jadi kalau kamu mau ke kamar mandi atau mau jalan ke manapun hubungi Kakak ya, biar Kakak bantuin kamu."

"Maaf repotin Kakak," sesal Aryn. Wajahnya tampak sedih.

Setelah merapikan selimut yang menutupi tubuh Airyn bagian perut ke bawah, Revan mengambil nampan yang berada di atas meja belajar Airyn .

"Nggak repot sama sekali. Justru Kakak bersyukur saat kamu sakit, Kakak ada di rumah. Jadi bisa jagain kamu. Yuk, sarapannya dimakan ya, mumpung masih panas. Kakak suapin kamu. Nggak boleh protes."

Revan duduk di ujung tempat tidur Airyn yang masih menyisahkan sedikit ruang. Sedangkan Airyn menekuk wajahnya karena merasa tidak enak sudah merepotkan kakaknya.

"Kakak taruh nampannya di sini aja, nggak akan jatuh" Airyn menepuk pahanya yang ditutupi selimut tebal.

Meletakkan nampan diatas paha Airyn, Revan mulai menyendok bubur dan menyuapi Airyn,"pelan-pelan makannya, masih panas. Kamu harus makan, biar cepat sembuh. Habis ini istirahat lagi. Jangan mikirin masalah apapun yang penting sekarang fokus untuk kesembuhan kamu dulu Ryn." perintah Revan

Sebenarnya Revan ingin mengatakan sesuatu kepada Airyn mengenai pembicaraannya dengan orangtua mereka tadi malam, tetapi hal itu diurungkannya karena tidak ingin menambah beban pikiran Airyn.

"Kak Revan. Jangan melamun Kak. Mulutku udah kosong."

"Oh, iya. Aduh adeknya Kakak nih makannya pintar banget. Ini tinggal satu suapan buburnya udah habis." Revan sengaja mengalihkan pembicaraan karena tidak ingin ketahuan sedang melamun.

"Minum obat dulu ya." Airyn berhasil menghabiskan bubur walaupun beberapa kali hampir memuntahkannya tetapi gagal akibat tatapan tajam dan ancaman Revan.

Setelah Airyn meminum obat, Revan memindahkan nampan tersebut kembali keatas meja belajar Airyn.

"Menurut kakak, passion itu apa? Soalnya teman-temanku banyak yang bilang kalau mereka pengen kuliah sesuai passion mereka." Sudah lama Airyn ingin menanyakan hal ini kepada Revan kebetulan saat ini dia mendapatkan kesempatan berdua dengan kakak sulungnya.

"Saat kamu menggambar, walaupun nggak menghasilkan uang apa kamu tetap senang melakukannya?" Airyn mengangguk penuh semangat.

"Nah, itu bisa disebut passion. Tapi dari beberapa teman Kakak yang ngelakuin sesuatu berdasarkan passion, ada yang berhasil menghasilkan banyak uang dari passion-nya tetapi ada juga yang stuck, akhirnya melepas passion mereka dan mengejar pekerjaan yang lebih menghasilkan. Jadi intinya pilihan apapun yang kita ambil dalam hidup kita akan ada konsekuensinya dan kita harus siap terima konsekuensi tersebut." Revan memandang adiknya sambil tersenyum.

***

Dari tadi hanya Revan dan asisten rumah tangganya yang lalu lalang memasuki kamar Airyn. Kedua orangtua Airyn tidak nampak sama sekali bahkan orangtuanya juga tidak menanyakan kabarnya lewat chat atau telepon.

Overthinking Airyn akhir-akhir ini semakin meningkat, terlebih ketika hendak memejamkan mata, dia banyak kuatir akan masa depannya, perkataan orangtuanya terus berputar-putar dikepala bahkan ketika Airyn membaca berita tentang penemuan bayi yang diletakan di depan rumah warga oleh orang yang tidak diketahui, membuat Airyn menghubungkan hal ini dengan dirinya dan memikirkan kemungkinan apakah dia seperti bayi tersebut yang diletakan di depan rumah ayah dan bundanya, karena rasa iba membuat ayah dan bunda mengangkatnya sebagai anak mereka mengingat dia diperlakukan sangat berbeda dari kedua saudaranya.

Air mata Airyn tidak berhenti sedari tadi, dia menangis atas pemikirannya sendiri, dia menangis karena perlakuan orangtuanya dan atas rasa sepinya saat ini. Sebenarnya Airyn ingin ke psikolog untuk mengatasi hal ini, tetapi Airyn takut jika teman-teman dan keluarganya tahu dia ke psikolog, dia akan dicap sakit jiwa.

Airyn buru-buru menghapus airmatanya ketika nada dering berbunyi dari handphone. Ternyata telepon dari Dewa. Airyn segera menonaktifkan handphone, saat ini dia tidak ingin diganggung oleh siapapun.

Satu jam yang lalu, Rita dan teman-teman yang lain memaksa ingin menjenguk Airyn tetapi langsung ditolak mentah-mentah oleh Airyn karena dia tidak ingin mereka membuat keributan, terlebih ada Revan di rumah. Airyn tidak ingin teman-temannya heboh melihat Revan.

Pintu kamar Airyn diketuk dari luar, terdengar suara Resta yang meminta ijin untuk masuk.

"Gimana keadaanya Teteh udah mendingan?" raut kuatir nampak jelas di wajah Resta.

"Perutku masih perih, tapi udah mendingan kok."

"Kalau sampai sebentar malam keadaan Teteh masih seperti ini, mending langsung ke rumah sakit aja ya, biar dirawat di sana."

"Eh, jangan," cegah Airyn."Aku hanya butuh istirahat aja, aku nggak mau ke rumah sakit."

Tidak terasa Resta cukup lama bercerita dengan Airyn sampai interupsi dari seseorang yang mengetuk pintu kamar, Airyn meminta tolong Resta membuka pintu kamar tersebut.

"Ada apa Bi?" selidik Resta kepada asisten rumah tangganya.

"Maaf Non Resta, tolong kasih tau Non Airyn kalau ada tamu."

"Siapa Bi?" sambungResta.

"Teman cowok Non Airyn yang pernah datang ke sini. Kalau nggak salah namanya Dewa."

Menoleh ke arah Airyn berada, Restu berkata, "Ada kak Dewa nyariin Teh Airyn."

Airyn langsung membeku di tempat sesaat kemudian rasa panik tiba-tiba menyerangnya.

"Bi, ayah dan bunda udah datang?" Airyn sudah melupakan rasa perih di perutnya dan segera menghampiri asisten rumah tangganya.

"Tuan dan Nyonya baru aja sampai, tadi pas saya bukain pagar untuk Tuan dan Nyonya bersamaan dengan kedatangan teman Non Airyn."

Mendadak sakit kepala, nyeri hebat di perut dan rasa mual menyerangnya. Kaki Airyn seperti kehilangan tumpuan yang membuatnya langsung tersungkur di lantai tanpa bisa dicegah.

•••

Let Me BeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang