Awalnya Airyn mengira Dewa akan membawanya ke sanggar Kang Usman. Tapi rupanya, Airyn salah. Motor Dewa melaju lebih jauh lagi hingga berhenti pada sebuah halaman rumah yang berhadapan langsung dengan hamparan kebun teh.
Udara dingin langsung menusuk kulit Airyn yang terbuka, bebas dari lapisan kain seragamnya. Ia tak membawa cardigan atau jaket ketika sekolah. Karena baginya, seragam adalah identitas penting yang patut ia gunakan ketika jam sekolah. Dan salahkan Dewa karena cowok itu tidak pernah memberitahukan padanya soal tempat yang mereka datangi hari ini.
"Lo nggak bawa jaket?"
Airyn menggeleng pelan. Setengah menggigil mengusap-usap kedua lengannya, mencoba mengurangi rasa dingin.
"Gue kira lo udah bawa cardigan dan sejenisnya. Cewek kan biasanya suka pake gituan kalo sekolah. Tasnya cewek tuh keliatan kecil, tapi isinya udah kayak kantong doraemon. Muat macem-macem barang dah."
Airyn memutar bola matanya. "Lo nggak bisa mengeneralisasikan semua cewek kayak gitu ya."
"Oh iya, gue lupa kalo lo itu beda. Tas lo cuma muat buat buku-buku sih ya."
"Hmm, why does it sound like you are teasing me, huh?"
Dewa tergelak. Tak menyahuti kalimat Airyn yang terdengar kesal. Ia membuka jaketnya dan melemparkannya pada Airyn yang menerimanya dengan tatapan bingung.
"Terus lo pake apa? Nggak usah aneh-aneh deh. Lo pasti dingin juga, kan?" Airyn menyodorkan kembali Jaket dari Dewa. "Gue nggak mau yaa lo sakit karena sok-sokan keren minjemin jaket ke gue."
"Duh, bebebku perhatian banget sih." Ujar Dewa seraya mengusap pelan puncak rambut Airyn. "Uwuuh-uwwuh.."
"Stop it. Jijik ya, Wa." Airy menepis tangan Dewa dari kepalanya kemudian ia membalikkan badan. Berusaha menutupi wajahnya yang memanas. Dewa hanya menyentuh rambutnya dan mengusapnya pelan, tapi hatinya seolah porak poranda entah karena apa.
Pluk.
Indera penciuman Airyn seketika dipenuhi aroma tubuh khas Dewa. Jaket Dewa kini mendarat di kepala Airyn membuat gadis itu membalikkan badannya lagi menghadap Dewa.
"Udah pake aja. Gue kasih nice info buat lo. Gue udah pake double layer kok." Dewa membuka kancing seragamnya. Terlihat sebuah kaos berwarna hitam di baliknya. "Jangan khawatirkan udara dingin. Mereka tak akan mampu membuatku menggigil." Ujar Dewa pongah.
"Yaa paling meriang-meriang dikit lah." Lanjutnya kemudian yang berhasil menciptakan segaris senyuman di bibir Airyn.
"Thanks, ya."
Jaket Dewa cukup besar dikenakan Airyn hingga menutupi setengah rok seragamnya. Tubuhnya menghangat.
Ah tidak, hatinya juga menghangat.
***
"Dulu, saya selalu beranggapan bahwa hidup itu adalah untuk menjadi yang terbaik. Manusia diciptakan untuk menjadi pemenang, dan kebahagaiaan akan datang seiring dengan pencapaian."
Dewa ternyata mengajaknya menemui seorang perempuan setengah baya yang tinggal di sebuah rumah yang tidak terlalu luas. Otak Airyn hanya mampu menyimpan informasi mengenai nama wanita yang dipanggil Bunda Ranti oleh Dewa tersebut. Selebihnya, Airyn malah terhanyut dengan sikap wanita yang baru pertama kali ia temui.
Bunda Ranti menyambut mereka dengan sangat hangat begitu Dewa meneriakkan salam di depan pintu rumah yang di biarkan terbuka. Tidak ada banyak pertanyaan, mereka langsung dipersilakan masuk ke ruang tengah yang didominasi interior kayu. Ada 2 jendela besar yang menghadap langsung ke arah halaman yang menampilkan deretan kebun teh dan bukit hijau di kejauhan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Let Me Be
Teen FictionSebelum bertemu Dewa, Ryn pikir hidupnya sudah cukup sempurna. Menjadi siswi berprestasi dengan berbagai piagam penghargaan juga jabatan ketua osis yang diembannya, membuat Ryn mampu membusungkan dada bangga. Namun, harus Ryn akui, ketika mengenal D...