"Di sini?" Airyn menatap sangsi bangunan yang ada di hadapan mereka, kemudian menatap Dewa.
"Kurang 'wah' ya buat lo?" Setelah melepaskan helm, dan mengacak-acak rambutnya sebentar, Dewa ikut memandang objek perhatian Airyn.
"Bukan gitu..."
"Yaelah, jujur aja kali. Gue tau, kok, orang kayak lo jarang makan di tempat begini."
"Maksudnya?" Airyn mendelik sebal, tak terima dengan sindiran barusan.
"Incess, kan, takut sama yang panas-panas," cibir Dewa seraya melangkah. Kemudian, dilewatinya beberapa deret pedagang kaki lima yang membuka lahan di pinggir taman kota. Meskipun panas semakin terik, kawasan itu tidak sepi pengunjung. Dan Dewa, sengaja mengajak Airyn mengisi perut di sana karena ada banyak pilihan yang bisa cewek itu pesan sesuai seleranya. "Lo mau apa?" tanyanya, begitu sudah memilih duduk di salah satu bangku kosong.
Airyn menatap sekitarnya risi. "Lo yakin kita—"
"Gue saranin baksonya Mang Uya, sih. Enak banget, serius. Nagih!"
"Wa,"
"Mie ayam-nya juga juara. Tapi kalo lo mau makan yang berat-berat, pepes ikan-nya Bi Ani yang paling aduhai. Bikin lidah bergoy—"
"Dewa!"
Ocehan Dewa seketika berhenti. Cowok itu segera melipat bibirnya ke dalam, dan balas memandang wajah Airyn, yang baru disadarinya sudah memerah sekarang—seperti kepiting rebus.
"Gue kira ada kembaran Cepot depan gue. Kenapa muka lo, Neng?"
Airyn menghela napasnya dalam-dalam. Berusaha sabar, lalu membalas, "Lo nggak punya rekomendasi tempat lain apa? Jangan di sini, please."
"Nggak suka?"
"Bukannya nggak suka."
"Oh... nggak bisa," simpul Dewa seenaknya. "Padahal, ini udah ketutup terpal, lho."
Airyn mendecak keras. Sambil menyeka keringat yang mengalir di bawah lehernya, cewek itu pun membela, "Muka gue jadi gampang merah begini, Dewangga! Malu gue diliatin orang-orang."
Dewa mengulum senyum gelinya. Memperhatikan baik-baik wajah Airyn yang memang terlihat hopeless. "Ya udah, nggak usah makan di sini. Di sana aja, gimana?" Tunjuknya kemudian pada sebuah kios soto Bogor yang ada di sebrang jalan.
Airyn mengangguk setuju, lantas segera berdiri dan menjauh dari deretan pedagang kaki lima yang mengurung mereka. Sesampainya di kios yang mereka tuju, desahannya mengalun lega. Meskipun kondisinya tidak jauh berbeda dari tempat sebelumnya—tetap gerah dan panas—paling tidak di kios tersebut, Airyn tidak perlu dipusingkan dengan orang-orang yang tengah berlalulalang dan kedapatan sedang mencuri pandang ke arahnya.
"Lo... pesen dua piring?"
"Maklum. Anak yang masih dalam masa pertumbuhan mah beda."
Cibiran Airyn seketika meluncur. Satu fakta lagi yang baru diketahuinya dari sosok Dewa. Cowok itu berperut karung!
"Jadi, gimana?" Selagi menunggu dua mangkuk soto, dan tiga porsi nasi mereka datang, Dewa memulai percakapan yang sudah menunggunya untuk diungkapkan.
"Apaan dulu, nih?"
"Masa depan kita! Ya ketertarikan elo dengan usaha gue tadi lah!"
Airyn seketika tertawa pendek. "Lagian, ngasih pertanyaan nanggung banget. Yang jelas dan lengkap, dong. Biar nggak mengandung makna ambiguitas."
"Iya, deh, Bu Guru..." ucap Dewa dengan nada yang dibuat-buat, sementara sebelah tangannya menggaruk pelipis. Malas. "Jadi, gimana sama yang tadi, Bu? Sudah mulai terbuka kah pikirannya?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Let Me Be
Teen FictionSebelum bertemu Dewa, Ryn pikir hidupnya sudah cukup sempurna. Menjadi siswi berprestasi dengan berbagai piagam penghargaan juga jabatan ketua osis yang diembannya, membuat Ryn mampu membusungkan dada bangga. Namun, harus Ryn akui, ketika mengenal D...