DUA PULUH

641 156 5
                                    

Hidup sebagai keturunan darah Tarachandra mengharuskan Airyn menjadi sosok anak yang sempurna, dan baru kali ini, ada rasa tidak nyaman yang amat sangat menyandang nama Tarachandra di belakang namanya. Langkahnya sudah terikat pada jalan yang sudah disiapkan oleh keluarganya. Kata orang jalan berbunga. Tapi bagi Airyn, ia seperti tersesat pada labirin penuh duri.

Sejak mengambil keputusan untuk mengikuti mimpinya, Airyn sudah menyadari akan datang hari ini. Hari di mana Ayahnya duduk dengan raut wajah yang mengeras. Air muka sang Bunda sebenarnya tidak jauh berbeda, tetapi wanita setengah baya itu lebih memilih berdiam di pantry dapur dengan dalih menyiapkan teh dan kudapan untuk Ayah.

"Ayah sudah dengar dari guru kamu."

Airyn menarik napas dalam-dalam. Satu kalimat pembuka dari Ayahnya memecahkan keheningan yang menyelimuti mereka bermenit-menit sebelumnya.

"Apa itu benar, Ryn?"

Lidah Airyn mendadak kelu. Padahal sejak bimbingan konseling yang dilakukannya tadi siang di sekolah, ia sudang membuat kalimat-kalimat yang akan ia gunakan ketika orang tuanya mempertanyakan hasil bimbingan konselingnya.

Sudah menjadi bagian dari aktifitas akademis di SMA Pelita Bangsa, setiap siswa kelas 3 akan mendapatkan formulir mengenai pendidikan mereka selanjutnya yang kemudian dilanjutkan dengan bimbingan konseling tatap muka. Dan hari ini, Airyn mendapat gilirannya. Setelah sempat ragu mengisi formulir konseling, pada akhirnya Airyn memberanikan diri menulis department of modern art and design pada kolom jurusan kampusnya. Hal ini sontak membuat guru BK-nya sempat mengerenyitkan alis heran. Apa yang ditulis Airyn sangat melenceng dari formulir konseling awal yang sudah dilakukan ketika Airyn kelas 1.

"Modern art and design? Kamu mau menyia-nyiakan kesempatan beasiswa jardine untuk jurusan konyol itu?"

"Airyn sudah lama suka menggambar, Yah. Airyn mau melanjutkan mimpi Airyn."

Netra hitam ayahnya menatap tegas Airyn. Membuat Airyn menundukkan kepala, meremas ujung rok seragamnya kuat-kuat. Seandainya Revan ada di sini, paling tidak ia akan mendapatkan bantuan dari kakaknya tersebut. Sayangnya pagi tadi sejak Airyn bangun, ia sudah tidak mendapati Revan di manapun. Kakaknya itu hanya mengirimkan pesan jika ia ada seminar penting di luar kota selama beberapa hari. Sementara Resta sedang mengikuti bimbingan untuk olimpiade yang akan ia ikuti beberapa bulan lagi.

"Kalau itu memang mimpi kamu, seharusnya kamu bangun dari mimpi itu, Airyn." Suara ayahnya tidak meninggi, tapi terdengar begitu menusuk di telinganya. "Ada banyak pilihan lain yang lebih baik di Oxford. Jangan buang-bunag waktu dengan mimpi kamu yang masih tidak jelas itu!"

"Tapi..."

"Dengarkan Ayahmu, Ryn."

Bundanya mendekat. Meletakkan secangkir teh hangat di hadapan sang suami dan sepiring potongan buah segar di hadapan mereka lalu duduk di samping Airyn.

"Apa kamu yakin? Kamu hanya senang menggambar. Hanya coretan dan goresan biasa, Sayang. Dengan kemmapuan sebatas itu tidak bisa menjadikanmu seniman hebat."

"Tapi aku bisa belajar, Bun." Airyn melakukan pembelaan. "Airyn akan belajar denga baik."

Terdengar suara dengkusan sang Ayah. "Kamu pikir hanya dengan belajar bisa menjadikanmu hebat dengan cepat, begitu? Jangan naif, Airyn."

"Yah..." Airyn duduk bersimpuh di bawah kaki sang Ayah. "Tolong, kasih Airyn kesempatan untuk membuktikan kalau Airyn bisa."

"Airyn sayang." Bundanya menyentuh pundak Airyn dan menatap puterinya itu lembut." Kami hanya ingin yang terbaik untukmu. Kami hanya tidak ingin kamu membuang-buang wajtu untuk hal yang belum pasti."

Let Me BeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang