"Ryn?"
"Airyn?"
"AIRYN!?"
"Hm? Ya?"
Pipit dan Rika saling bertukar pandang, melihat respon seperti itu mereka sadar bahwa akhir-akhir ini Airyn berubah menjadi pemurung, pendiam, bahkan sering melamun.
"Are you oke, Ryn?"
"Sure! Emang gue kenapa? Biasa aja perasaan."
Airyn tertawa sumbang, membuat mereka semakin yakin kalau Airyn tidak baik-baik saja.
"Oh, syukur deh kalo baik-baik aja mah," Tangan Pipit mengelus pundak Airyn, "Kalo ada apa-apa cerita aja Ryn. Gue ada buat lo."
Tak mau kalah, Rita beranjak dari kursinya lalu memeluk Airyn, "Gue juga kok. Meski sering nyotek dari lo, gue tulus temenan sama lo, jangan ngerasa sendiri, ya."
"Thanks Guys, tapi gue baik-baik aja kok." Airyn mencoba tersenyum setulus mungkin.
Atmosfer di mejanya entah mengapa menjadi sendu nan kelabu, kerja kelompok setelah usai jam sekolah kini menjadi ajang menghibur Airyn. Sebenarnya banyak sekali yang ingin ia ceritakan, tapi harus dimulai darimana? Lalu apa mereka akan mengerti tentang dirinya? Bagaimana jika hasilnya sama seperti orangtua atau guru konselingnya?
Ia takut responnya sama seperti jam istirahat tadi, ketika Airyn dipanggil lagi ke ruang BK. Bu Dewi, guru konselingnya, bertanya ulang mengenai pilihan jurusan dan kuliahnya.
"Airyn... memang pilihan ada di tangan kamu, tapi jika seperti ini kesannya kamu menyia-nyiakan kesempatan."
Airyn hanya diam, percuma saja bicara. Bu Dewi dan ayahnya berada di satu pihak yang sama.
"Nilai kamu turun drastis, prestasi penunjang pun tidak relevan dengan jurusan yang kamu ambil. Menurut ibu peluang kamu diterima sangat kecil, Ryn. Beda lagi jika kamu ambil jurusan..."
Telinga Airyn berdenging dan kepalanya terasa berat, entah apa lagi yang Bu Dewi katakan, sekelilingnya seketika terasa sunyi. Otaknya seperti berhenti bekerja pada saat merekam satu kalimat, "Peluang kamu diterima sangat kecil." Lalu seperti kaset rusak kalimat itu terngiang berulang-ulang sampai tak sadar kelas telah usai.
Layar gawai Airyn bergetar tanda panggilan masuk, membuat fokus ketiga gadis itu terpecah. Airyn melihat nama yang tertera di layar lalu menggulirnya cepat.
"Iya, aku ke parkiran. Makasih ya Mang," Dengan tergesa Airyn membereskan barangnya, "Sorry, gue udah dijemput nih. Sisa kerjaannya nanti gue kirim di WhatsApp ya."
"Nggak apa-apa kok, Ryn. Dikit lagi ini mah, kita aja yang beresin."
Rika menoleh cepat, mulutnya sedikit menganga dan membulatkan matanya kaget mendengar ucapan Pipit, dan semakin tak percaya ketika Airyn berterirma kasih lalu pergi dari kelas.
"Dikit lagi otak lo gosong, Pit? Kita kan bego soal bahasa Jerman, gimana mau beresin?"
"Heh! Nggak lihat apa tadi tuh Airyn gak fokus? Kayak banyak pikiran gitu, gimana mau bener ngerjain tugas? Udah deh biarin dia istirahat, kita kerjain sebisanya."
Rika mengangguk-ngangguk setuju, awalnya ia bahagia dapat satu kelompok dengan Airyn tapi mungkin sekarang keberuntungannya hanya setengah.
"Pit, emang... Airyn pulang itu bakal istirahat?"
Pipit berhenti mencatat, "Iya juga ya. Les dan privatnya kan udah kayak penduduk Jakarta, padet!"
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Let Me Be
Teen FictionSebelum bertemu Dewa, Ryn pikir hidupnya sudah cukup sempurna. Menjadi siswi berprestasi dengan berbagai piagam penghargaan juga jabatan ketua osis yang diembannya, membuat Ryn mampu membusungkan dada bangga. Namun, harus Ryn akui, ketika mengenal D...