DUA PULUH ENAM

704 134 11
                                    


Dewa tahu seharusnya dia sudah mempersiapkan hal ini. Memaksa menemui Airyn langsung ke rumah cewek itu, artinya dia harus menerima segala konsekuensi yang akan dihadapinya, termasuk bertemu dengan pasangan Tarachandra generasi ke—entah ke berapa—yang kini tengah menatapnya dari atas kepala sampai ujung kaki. Seolah-olah Dewa adalah makhluk primitif yang mendapatkan izin istimewa untuk menembus waktu hingga tiba di depan batang hidung mereka.

Dewa berdeham pelan, tegang juga rasanya ditatap begitu. Mengangguk kecil bersamaan dengan senyum yang dibentuk seramah mungkin, Dewa kemudian memindahkan kantung plastik berisi buah tangan dari tangan kanan ke tangan kiri hanya untuk menyalimi sepasang suami-istri di depannya.

"Ada perlu apa ke sini?"

Tanya itu datang dari perempuan yang berpenampilan layaknya artis Dona Harun—cantik, namun mengintimidasi.

"Engg... saya mau ketemu Airyn, Tan. Katanya—"

"Dia sakit." Suara berat dari pria dengan tubuh tegap di samping Dona Harun kawe menginterupsinya. Dewa hendak membuka mulut lagi, maksudnya adalah untuk memberitahu kalau itu memang alasannya datang ke sini. Namun belum sempat bersuara, pria itu sudah kembali bilang, "Kamu pulang aja. Airyn masih butuh istirahat."

Buset. Belum apa-apa, udah ditolak gue.

"Sebentar aja, kok, Om. Masa nggak boleh?"

"Airyn sedang tidur."

"Ya, kan, dibangunin dulu, Om. Sayang, lho, saya udah belanja di Indojuni tapi nggak sampe ke tangan yang mau dijenguk."

Widi menghela dalam. Menatap keki pada Dewa yang seolah tidak mau kalah darinya. Dia jadi berpikir, dari mana Airyn bisa bertemu dengan sosok pemuda seperti Dewa.

"Boleh ya, Om, Tante? Saya nggak akan lama, kok. Janji deh!"

"Kamu Dewa, kan?"

Dewa berpaling pada si Dona Harun kawe. "Tante kenal saya?" Lalu cengirannya mengembang. "Iya, Tante, saya Dewa. Pac—maksudnya, temen Airyn."

"Dewa, kamu sudah dengar apa yang ayahnya Airyn katakan, bukan?"

Dewa menelan ludah, lantas mengangguk. Sepertinya memang tidak mudah untuk menemui Airyn hari ini.

"Lain kali. Lagian ini sudah sore, mendung. Kamu bisa kehujanan pulangnya nanti."

"Emangnya numpang duduk sampai hujannya berhenti nggak boleh, Tan?"

Pasangan suami-istri di depannya saling melirik, tak lama helaan napas keduanya teralun berat. Dewa pura-pura saja tidak tahu, padahal sih dia yakin benar, itu diakibatkan karenanya.

"Dewa—"

"Bun?"

Suara rendah Airyn yang muncul dari arah pintu, membuat ketiganya menoleh pada momen yang sama. Berbeda dengan Dewa yang diam-diam menyembunyikan senyum simpulnya, kedua orang tua Airyn justru kembali menghela napas, kali ini lebih panjang dan lebih dalam.

"Sebentar saja," putus sang ayah kemudian, sebelum memasuki rumah dengan wajah tegang, yang lantas diikuti oleh bundanya.

Airyn menggumamkan terima kasih, lalu memfokuskan tatapannya pada Dewa. Pemuda itu tersenyum lebar, seperti tidak pernah ada masalah diantara mereka sebelumnya.

***

"Teh! Ya ampun! Hati-hati, dong!" Resta bergerak cepat membantu Airyn untuk kembali berdiri. "Nggak usah buru-buru gitu."

Airyn meringis. "Teteh nggak apa-apa, Res," ujarnya menenangkan. "Cuma keserimpet bed cover. Nakal banget tuh!"

"Teteh nggak akan keserimpet, kalau nggak buru-buru," dengus Resta, yang langsung menuai cengiran Airyn. "Kak Dewa lagian nggak ke mana-mana. Nggak akan ada Kolong Wewe depan rumah yang demen sama dia."

Let Me BeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang