EMPAT

1K 200 5
                                    

"Apa sih, Dar."

Airyn berlalu santai meninggalkan Dara yang masih terperangah dengan sketsa hasil karya Airyn yang katanya dibuat saat sedang iseng.

"Cuma iseng, ceunah! jiwa tiktok-anku auto insekyur," gumam Dara masih dengan geleng-geleng kepala, kemudian berlari kecil menyusul Airyn.

"Ryn, bagi lo mungkin itu iseng, tapi menurut gue itu adalah mahakarya, Ryn. Ya Tuhan! Lo udah diberkahi dengan otak brilian ditambah lagi bakat seni yang terpendam. Nggak ada cela lo, Ryn. daebak!"

"Hah? Martabak?"

Dara memutar bola mata mendengar Airyn yang justru fokus pada akhir kalimatnya saja.

"Ya, palingan ini sih kurangnya elo. Mendadak roaming kalo diajak seru-seruan," kelakar Dara diiringi tawanya yang pecah, sedang Airyn cuma bisa mencebikkan bibir. Tak ingin memperpanjang tapi diam-diam kepikiran juga ucapan Dara soal bakat seni yang terpendam.

Sejauh ini, Airyn memang senang mencorat-coret bagian belakang buku catatannya ketika sedang bosan belajar hingga jemarinya berhasil membentuk sebuah sketsa yang utuh dan indah tanpa dia sadari. Tapi tidak pernah merasa hal itu sebagai keahlian apalagi bakat. Benar-benar hanya iseng yang justru sering ia rutuki. Pasalnya, keasyikan mencorat-coret biasanya akan membuat Airyn lupa untuk kembali fokus pada soal-soal yang harus dia kerjakan sebagai latihan jika nanti ada ujian mendadak.

Seperti tadi pagi waktu kelas mata pelajaran Kimia berlangsung dan pak Edi tiba-tiba memberi soal ulangan mendadak. Seisi kelas protes karena tidak siap, hanya Airyn yang menyambut girang.

"Kalian ini kalau jadwal kosong, main aja kerjaannya. Giliran diuji banyak alasan. Contoh tuh Airyn, nggak heran dia juara terus karena dia memang selalu giat belajar."

"Huuuu, disamain sama Airyn. Ibarat Kylie Jenner sama Kekeyi. Nggak level, Pak," sahut seorang siswa yang ditimpali oleh siswa lain, "da aku mah apa, atuh, Pak. Cuma tetesan keringat oppa Lee Min Ho."

Kelas menjadi riuh oleh siswa yang menuntut hak kesantuy-an mereka yang telah terampas.

"Sudah, jangan banyak omong kalian. Sekarang Bapak kasih waktu 20 menit untuk baca-baca materi Hidrokarbon terlebih dahulu. Setelah itu Bapak akan kasih soal satu orang satu, tapi masing-masing soalnya beda."

"Yes!" pekik Airyn dalam hati. Berbeda dengan teman-temannya yang kembali heboh tidak terima.

"Yah, Bapak. Nggak asyik, nih...."

Meski banyak protes, ulangan tetap dilaksanakan. Bisa dipastikan Airyn menyelesaikan dengan cepat dan sudah pasti tepat. Tanpa memikirkan nasib teman-temannya yang mendadak pusing kepala, Airyn melenggang ke meja guru untuk menyerahkan lembar jawabannya.

Dalam hati ia membenarkan ucapan orang tuanya bahwa bakat seni itu tidak akan menolong di bidang akademik. Kalaupun Airyn benar memilikinya, tidak akan ada pengaruhnya juga. Itu yang selama ini yang ditanamkan ke dalam pikiran Airyn sampai dia merasa harus membuang jauh-jauh minatnya dalam menggambar sketsa ataupun melukis dengan warna-warna indah.

"Ryn, ke kantin, yuk. Pusing gue. Rasanya kepala gue mau meledak kaya bom atom." Tika menarik lengan Airyn setelah kelas selesai.

"Lo dapet soal apa tadi, Tik?"

"Lo pikir gue nyebut-nyebut atom karena apa? udah yuk, kantin yuk. Pengin ngunyah kacang atom gue." Tika menjawab pertanyaan Rita dengan kesal tapi entah pada siapa.

"Gue disuruh jelasin Alkana, Alkena, Alkuna. Padahal gue taunya Cuma Al, El, Dul dan bunda Maia." Pipit ikut bersuara. Cewek berambut ikal itu berhasil membuat suasana suntuk habis ujian tadi jadi kembali segar dengan tawa. Bahkan Airyn pun terkekeh karenanya.

Let Me BeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang