DUA BELAS

779 173 24
                                    

*Karya Airyn ceritanya

***

Airyn terbaring lemah di kasur, memandang langit kamar yang temaram. Sementara pikirannya berlalu-lalang kemana-mana, terlalu banyak kejadian yang mengejutkan akhir-akhir ini. Menghembuskan napas kasar, ia menyentuh kening, "Sudah mendingan," gumamnya. Perlahan ia berusaha bangkit, berjalan gontai menuju meja belajar. Ada hutang belajar yang harus ia bayar, mengingat moodnya mudah hancur bersentuhan dengan buku sekolah jika sudah bertemu Dewa.

"Lo harus percaya sama rekan kerja lo."

Airyn tersenyum miris, "Gue percaya rekan kerja gue ya Dewa, tapi wajar kan kalo khawatir terjadi hal-hal yang nggak diinginkan, terus nolongin ngasih masukan?" Racaunya menjawab pertanyaan Dewa tempo lalu, "Tapi hari ini Raka buktiin ke gue kalo dia bisa," kepalanya bersandar ke meja, membuka asal buku catatan sekolah lalu tanpa sadar menggoreskan pensil di sana, "Perasaan Raka sama nggak ya kayak gue pas ngasih ide tapi ditentang Selly?" Napas kasar nan berat keluar lagi dari mulut mungilnya.

"Gue mau ngajarin lo gimana caranya jadi manusia."

Omongan Dewa kembali terngiang, Airyn mengernyit memejamkan mata, kepalanya terasa pusing, ia mendongak seraya memejit pelan pelipisnnya, "Dewa... selama ini di mata lo, gue tuh apaan? Gue bisa sakit, bisa berpikir, bisa bernapas, kurang apa lagi jadi manusia?" Kembali tangannya mengambil pensil, menggores sesuatu di atas buku sambil meracau.

"Ryn, gimana keadaan kamu, Nak?"

Di tengah pikiran bercabangnya, sang Bunda muncul dari balik pintu kamar.

"Udah mendingan kok, Bun."

"Kalo masih sakit jangan dipaksain belajar," Sarannya seraya berjalan menuju Airyn, "Loh, kok bukunya malah dicoret-coret?"

"Eh?"

Airyn mengerjap, buku tulisnya kini terisi sketsa kasar tubuh berkepala benang kusut.

"Kebiasaan kamu, Ryn! Bunda kan sering bilang kalau ngegambar aneh gini tuh buat anak kecil. Adik kamu aja nggak pernah kayak gitu, dia malah lebih semangat ngerjain soal olimpiade. Jangan buang-buang waktu, Ryn! Inget! Kamu udah kelas dua belas! Daripada ngelakuin hal yang nggak berguna mending kamu istirahat."

Tanpa menunggu respon Airyn, bundanya sudah menutup pintu kamar secara berlebihan. Jika ayahnya selalu membanggakan sang kakak, bunda memuja sang adik, di titik inilah mereka bertemu dan sepakat melihat Airyn yaitu membenci kebiasaannya membuat 'coret-coret'. Rasa sakit tiba-tiba hadir menjalar di rongga dadanya, mata hazel itu pun mengembun. Tangannya gemetar mengetik pesan WhatsApp pada seseorang.

"Sesak." Gumamnya pada diri sendiri.

***

Raka mengacak rambut gusar. Ia melirik kembali jam tangannya, sudah lima menit berlalu dari waktu janjian namun orang yang ditunggu tak kunjung datang.

[Raka, jam istirahat pertama kita ketemu di perpus, ya. Gue mau ngomong sama lo. Penting.]

Pesan Airyn pada Raka tadi malam. Itulah alasan mengapa Raka was-was. Apakah ia melakukan kesalahan ketika memimpin rapat kemarin? Atau ada hal yang ditentang oleh Airyn? Apa yang mau Airyn bicarakan, ya? Semua pertanyaan itu bising bersahutan di kepalanya. Raka sudah datang tepat waktu, menghindari sifat yang dibenci Airyn, telat. Ditambah ia juga ingin ke kantin, semakin tak tenanglah hidupnya.

Persis dimenit ke tujuh, Airyn datang menyeret pelan kursi perpus dan duduk di hadapan Raka, rasa tak karuan itu pun hilang seketika. Airyn meminta maaf dan menjelaskan alasan kenapa ia datang telat tanpa diminta, katanya Bu Vivi korupsi waktu, jadi kelasnya ngaret untuk istirahat.

Let Me BeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang