ENAM

808 177 1
                                    

Let Me Be-6

Suasana kantin SMA Bina Nusa tidak jauh beda dengan pasar jika jam istirahat tiba. Ricuh, antrian mengular, dan teriakan siswa kelewat lapar akan terdengar membahana seperti, “WOY!! Meja pojok tempati, cepet!” Atau, “Maaang!!! Baso tahu spesial dua mangkok, ya! Ciri antrean gue sepatu ini! Tingalikeun we mun aya nu nyepak!” (Liantin aja kalo ada yang nendang!). Itu masih normal, justru yang kelewat normal adalah penjual di sana bisa langsung nyebut nama siswa yang ngantre pakai barang nyeleneh itu kalo pesanannya sudah jadi!!! Kece nggak, tuh?
“Den Angga artis Tik-Tok, batagornya udah jadi! Lewat tiga menit nggak diambil, dikasih ke Neng Mila!”
Merasa terpanggil, cowok jangkung tegap berlari menerobos antrean, “Nggak usah pake artis Tik-Tok juga kali, mang!” Ia mencebik tak suka.
“Lah kan bener artis Tik-Tok,” Mang batagor tak mau mengalah, “Di sini mah siapa yang nggak tahu Aden. Neng Mila juga tahu, kan?”
“Iye gue tahu! Cepet, ah! Lapar!” Jawab gadis manis itu jengkel.
“Nah, justru karena semua udah pada tahu, mang! Jadi lain kali manggilnya ‘Den Angga ahli Surga pes-‘”
“Buset dah, Dewangga Putra Bimasena!! Bacot lagi gue banting, nih!”
Belum sempat Dewa selesai bicara, Mila yang terkenal sebagai siswi atlet Judo sudah pasang tangan dan kuda-kuda.
“Eh, ampun kanjeng Ratu Mila!” Melihat gerakan itu, Dewa segera mengambil mangkok batagor dengan tangan kanan lalu merapatkan telapak tangan kirinya di dada seraya membungkukkan setengah badan, “Saya mohon undur diri.”
Mila mengangguk bak paduka Ratu memberi perintah.
“Mila pesen ba-“
“Topi gue, mang!”
“Amjim!! Elo, ya! HEH!!”
Dewa tertawa membahana melihat ekspresi kesal Mila dan para siswa lain yang mengantre. Memang tadi ia pesan batagor pakai topi hitam kesayangannya yang diberi nama Niko.
“Bikin ricuh apalagi nih bocah?” Bayu berkoar setelah Dewa duduk sempurna di sampingnya.
“Jumpa fans, biasa.”
“Ewh!”
“Najis!”
Selly dan Dito berkomentar nyaris bareng dan pura-pura ingin muntah mendengar jawaban Dewa yang kelewat narsis.
Mereka-Selly, Bayu, Dito, Dewa- berada dalam satu meja kantin. Sebuah anugerah luar biasa jika dapat meja, karena anak BiNus kalo lapar suka bar-bar. Contohnya pesen meja aja bisa request ke penjual via WhatsApp. Untung Selly sempat dapet meja disusul tiga cowok itu yang numpang tanpa tahu diri, membuat teman perempuannya mangkir karena dikira rapat OSIS dadakan.
Selly membuang napas kesal, lalu mengaduk baso berkuah pedasnya sambil bersungut-sungut. “Harusnya yang duduk di sini tuh geng cantik gue! Napa jadi lo-lo pada, hah? Bosen tahu liat wajah kalian. Nggak di OSIS, nggak di kantin, heran!”
“Ya, kan kita sesekolah, Sel! Seorganisasi juga. Pasti sering ketemu, lah!” Debat Dito, “Kecuali kalo kita siswa PelBa numpang makan di sini, baru heran!”
Tawa mereka pecah, kecuali Selly, “Gue suapin nih sama kuah cabe, mau!” Ancamnya.
“Ihh galak amat!” Timpal Bayu, “Btw, kapan kita rapat gabungan di PelBa lagi? Gue kangen Airyn.” Ia menaik turunkan alisnya disertai cengiran menampilkan gigi putih berbaris sempurna.
“Liat yang bening aja lo semangat! Padahal kemarin cuman iya-iya doang.”
“Dito, oh…  perkataanmu menyakitiku.” Ucap Bayu hiperbola disertai nada teraniaya.
“Airyn emang cantik sih, gue sebagai cewek juga suka liatnya.”
“Nah! Bener, kan!” Bayu tepuk tangan, “Tapi lo nggak belok kan, Sel?”
Selly melotot dan satu tangannya tiba-tiba mendarat di paha Bayu, membuat ia menjerit menghentikan kericuhan kantin sesaat. Menyadari hal itu Dito meminta maaf pada yang lain dan memohon untuk melanjutkan kegiatan yang sempat terganggu oleh suara Bayu.
“Gaplok aja Sel dua-duanya biar seimbang, gih!” Dewa menemukan suaranya kembali setelah batagor ludes.
“Euh! Kalo kaki gue lumpuh, tanggung jawab, loh!”
Selly hanya mengedikkan bahu acuh, “Tapi gue nggak suka sama sikapnya. Bossy gitu nggak, sih? Kemarin waktu kita ke sana marah-maraaaaah aja. Kan jadi kesannya kita nggak dibutuhin gitu. Dan tatapan matanya itu loh gaes! Kayak ngeremehin banget!” Lanjut Selly mengomentari sikap Airyn tempo lalu.
“Wajarlah dia kayak gitu. Nih, sikap si penul ini kan salah satu alasannya.” Dito merangkul pundak Dewa.
Dewa hanya mengacungkan jari telunjuk dan jari tengahnya membentuk tanda V disertai cengiran. Mendengar komentar mereka tentang Airyn, diam-diam Dewa membenarkan. Masih melekat di kepala bagaimana cara cewek itu menyebut prestasinya gara-gara koneksi malam lalu ditelepon. Tapi rasa kaget itu teralihkan dengan tawa renyahnya yang terdengar kemudian. Dia membayangkan bagaimana wajah Airyn yang kaku itu tertawa lepas. Memang sudah menjadi santapan biasa bagi Dewa jika orang asing tahu siapa keluarganya, terlebih koneksi yang mereka jalin.
Sudah mapan, tampan, berprestasi lagi! Sempurna! Makanya banyak yang nyinyir. Resiko orang ganteng, sih!
“Ngapain lo gibas rambut?” Selly heran melihat sikap Dewa.
“Syndrom Tik-Tok, tah!” Dito memperkeruh.
“Kadang gue ragu lo bagian keluarga Bimasena. Mengingat kelakuan Anda seperti Dajjal.” Mulut Bayu minta digampar.
“Nyinyir aja nyinyir lo pada! Nggak ada harganya ya gue sekolah di sini!”
Lagi mereka tertawa. Dewa hanya mengedikkan bahu, tak peduli dengan teman seperjuangannya yang kadang julid melebihi batas suci. Tak berapa lama ponsel di saku celananya bergetar tanda sebuah email masuk.
“HAH??!!”
Dewa masih menganga, tak percaya pada isi pesan yang ia terima. Tawa mereka pun hilang ketika melihat keterkejutan Dewa.
“Kenapa lo?” Dito panik.
“Dapet give away?” Selly antusias.
“Menang umroh gratis?” Tanya Bayu sekenanya.
“PROPOSAL EVENT  KITA UDAH BERES!!”
“HAAAHHH?!!” kompak mereka bertiga membeo.
Selly dengan tangkas merampas ponsel Dewa, lalu melihat isi email yang tertera di layar, “Tuh, kan, bener! Si Airyn emang mau kerja sendiri, nggak koordinasi sama tim kita! Langsung aja bikin! Ih gemes! Dewangga! Gue nggak mau tahu! Kalo kayak gini ceritanya, gue out!”
Seketika pening melanda. Dari awal Dewa sudah yakin sebenarnya tipe-tipe cewek semodelan Airyn tuh nggak mudah percaya sama orang, ditambah Selly yang meledak-ledak dan ekspresif gini cocok sekali membuat perpecahan. Setelah Selly ditenangkan oleh Bayu dan Dito, ia mengambil ponselnya lalu mengetik pesan untuk Airyn.
***
Entah kali keberapa Airyn menghembuskan napas frustasi. Rasa penatnya sudah maximal. Baru kali ini ada orang keberatan terhadap proposal yang ia buat. Biasanya anggota kerja di organisasinya selalu bahagia, berterima kasih lalu memuji dirinya karena sudah meringankan beban kerja. Tapi Dewa malah meminta bertemu langsung di kafe dengan membawa hardcopy proposal seperti ini.
[Ketemu di Black Kafe sepulang sekolah. Ada yang mau gue omongin soal proposal.]
[Bawa juga hard copy proposalnya.]
Dua pesan itu yang membuat ia terdampar di sini. Untung jarak kafe tak terlalu jauh dari sekolahhnya maupun sekolah Dewa. Dan kebiasaan Dewa yang Airyn benci adalah telat. Minuman yang ia pesan sudah tandas setengahnya. Membuat ia bertekad jika lima menit lagi Dewa tidak datang, ia akan pergi.
Tapi untungnya Dewa datang dimenit ke tiga.
“Sorry! Ban motor gue bocor,” Dewa menjelaskan alasan ia terlambat tanpa diminta lalu melepas helmnya dan duduk di depan Airyn, “Langsung aja, ya. Bawa proposalnya, kan?”
Airyn meyerahkan proposal tanpa bicara. Alasan basi! Hatinya dongkol.
Dewa menyambut proposal itu dari tangan Airyn, mengeluarkan bolpoin merah, membuka lembar perlembar lalu mencoret tanpa tedeng aling-aling, “Ini kaku! Ganti dengan bahasa yang fresh namun menjanjikan,” ucapnya tanpa melirik pada Airyn yang menganga tak percaya.
“Sesuaikan kegiatan event dengan member yang mau ikut,” Dewa mencoret lagi.
“Jangan kebanyakan kalimat, sponsor bisa boring.”
Airyn masih tak percaya, bahkan ia pasti lupa berkedip. Hari ini Dewa berlagak seperti kakaknya jika merevisi skripsi mahasiswa.
“Ganti cover dan background, ini acara anak muda bukan untuk bapak-bapak pencari kolom berita,” Dewa menutup proposal lalu menyodorkan kembali pada Airyn, “Itu aja. Gue suka ide lo di sana, tapi lebih baik kalo misalnya itu semua didiskusiin bareng-bareng,” senyumnya terbit, “Gue yakin tim kita bakal lebih keren kalo bekerja sama. Percaya rekan kerja lo. Rekan kerja kita, oke?”
Airyn mengangguk takjub. Dewa yang ia temui saat ini berbeda dengan Dewa beberapa hari yang lalu. Belum pernah sesadar hidupnya ia menerima sanggahan atau perlakuan seperti barusan. Ia selalu sempurna dalam melakukan segala hal, sampai Dewa datang dan menemukan celah rapuhnya. Rasanya tertohok.
“Lo nggak main-main kan ini?” Airyn bersuara setelah aksi bisunya pecah karena proposal hasil begadang bermalam-malam hancur di tangan Dewa.
“Trust me! Gue nggak mungkin kan ngancurin event yang bisa menjatuhkan nama sekolah?”
Airyn mengangguk lagi. Dewa punya juga sisi serius seperti ini ternyata. Diam-diam hati Airyn menerima pendapat orang lain setelah kakaknya, dan orang itu Dewa! Setelah kesan pertama yang ia tangkap dari sosok Dewangga Putra Bimasena adalah cowok petakilan dengan modal tampang dan koneksi sehingga berpretasi. Namun nyatanya Dewa memang punya otak brilliant! Rasa bersalah menggerogoti hati Airyn, teringat ucapannya tempo lalu yang kurang sopan.
“Tapi kok elo bisa tahu soal ginian?” Airyn tak bisa bohong kalau dia semakin penasaran dengan Dewa.
“Gue sering nge-babu sih di kantor bokap. Dikit-dikit belajar sama orang-orang di sana. Termasuk cara menilai proposal cuman dari cover.”
“Oh, tuntutan dan beban banget pasti ya jadi penerus bisnis keluarga? Makanya belajar sejak dini, gitu kan, lo?” Refleks Airyn berkata demikian. Teringat akan dirinya berdarah Tarachandra yang ditekan untuk selalu sempurna.
Alis Dewa bertaut, “Beban? Nggak kok, gue ngelakuin itu semua karena mau dan kebetulan aja sejalan sama bisnis keluarga gue.”
PT Putra Bimasena memang bisnis yang berjalan pada bidang arsitekktur dan interior, banyak mensponsori acara seni rupa dan design diberbagai wilayah, sehingga namanya membesar dan sering di dengar orang.
“Lo beruntung kalo gitu,” entah mengapa Airyn merasa dunia tak adil. Di hadapannya duduk seseoranng yang bebas seperti burung terbang meraih mimpi dan keinginannya tanpa tuntutan, tekanan dan paksaan, “Tapi kalo misalnya minat lo nggak sejalan dengan bisnis keluarga gimana? Lo mau berhenti atau terusin?”
Dewa menangkap ekspresi sedih Airyn sesaat, dan  heran mendengar pertanyaan Airyn barusan. Apa ia punya masalah keluarga? Hati Dewa curiga.
“Kalo nggak sejalan, ya?” Dewa berpikir, kalimat apa kira-kira yang pas untuk diutarakan supaya tidak menyinggung Airyn, “Gue kayaknya bakal tetep terusin, deh! Gue hidup cuman bisa jadi diri gue sendiri. Bukan jadi orang lain atau bayang-bayang harapan seseorang. Walau mugkin jalannya agak berliku dan muter, gue yakin kok semesta bakal bantu.”
Airyn termenung. Kata-kata Dewa berlalu lalang di kepala, berdenging memekakan telinga.
Melakukan sesuatu karena mau.
Meneruskan minat.
Karena gue cuman bisa jadi diri gue sendiri.
Pertanyaan asing itu kembali. Tentang kegiatan yang dia lakukan selama ini, prestasi yang diraih, bahkan bayangan sketsa lama yang dibahas Dara pun mucul.
Airyn, yang lo lakuin selama ini tuh karena lo bisa dan tahu caranya, bukan karena minat atau keinginan sendiri!
Rasanya Airyn bisa mendengar suara hatinya saat ini.

•••

Part ini ditulis oleh Ghaznara , jgn lupa mampir ke works beliau yaa..

Rgds,
Sastrapedia

Let Me BeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang