29. 🍂 Kencan Pertama

31.7K 4K 158
                                    

"Masih...."
aku menjawab dengan muka tertunduk, memainkan cincin lamaran yang melingkar di jari manisku. Cahaya berliannya memantul. Harganya mahal, saat itu, aku hanya sebatas memasukkan model ini ke dalam list, tak pernah terpikir bahwa itu yang dipilih Mas Bram.

Lelaki di sebelahku menghela napas panjang, kira-kira dia akan menanggapi seperti apa?

"Syukurlah," ucapnya lega, "kalau kamu ingin menyudahi, aku akan berjuang supaya kamu tetap bertahan."

Aku makin menunduk, mataku berkaca-kaca, menyadari kalau tindakanku sebelumnya sudah keterlaluan. Kukira dia akan menyarankan atau bahkan mengajak untuk berhenti, membayangkannya saja membuat jantungku rasanya sulit untuk bernapas.

" Lho, aduh kok malah nangis." Mas Bram panik, aku tak bisa membendung perasaanku. Air mataku tumpah, kututup wajahku dengan kedua telapak tangan. Menangis sesenggukan.

Sungguh, sejenak aku takut kehilangannya. Apakah karena usiaku yang sudah kepala tiga, hingga emosiku lebih berperan saat masa lalu nya datang? Harusnya tidak seperti itu. Harusnya aku bisa lebih bijaksana, harusnya aku tak menurutkan cemburuku.

"Sayang...aduh gimana ini." Mas Bram mengambil tisu serampangan, berusaha membuka tanganku yang menutupi wajah, tapi aku tak mau. Ku tumpahkan semua sesak hatiku dan akhirnya dia membiarkan. Memberiku waktu sejenak.

"Halo Han." Mas Bram sepertinya menghubungi Johan, "meeting pagi antara tim media dengan klien, kamu dan Sandra yang handle ya, Mbak Karin sepertinya kurang enak badan, kecapean."

Aku memilih menjauhkan tubuhku ke sisi kiri. Menyandarkan kepala pada jendela kaca yang tertutup. Menumpahkan air mata. Tak lama, dia menghubungi Syahran, HRD, mengabarkan kalau aku tak bisa masuk kantor hari ini. Aku lega, bagaimana aku bisa masuk kantor dengan kondisi seperti ini.

Mas Bram menyalakan mobil kembali dan keluar dari area gedung Actamedia. Aku tak tahu, kenapa hari ini begitu sensitif. Setelah dua hari menahan diri, akhirnya aku ambrol juga di hari ketiga.

Mas Bram membiarkanku menangis, tak mengusik dan bertanya macam-macam, hanya lagu surrender dari Natalie Taylor yang menemani kami untuk beberapa saat

"Kita kemana?" tanyaku serak, setelah puas meumpahkan air mata.

"Kamu ingin kemana?"

Aku menggeleng, tak tahu mau kemana.

"Aku tahu tempat yang enak, ikut saja ya?"

Aku mengangguk. Mobil terus melaju. Aku tak bersuara, aku tak tahu mau kemana, hingga menyadari kalau mobil yang kutumpangi berada di jalur Surabaya-Malang via toll Gempol-Pandaan. Dahiku berkerut.

"Temani aku ke Taman Safari." Dia menjawab pertanyaanku yang masih tersimpan di dalam otak, "terakhir kesana sama keluarga, pasti menyenangkan kalau kesana sama kamu."

Astaga Mas Bram. Aku memandangnya tak percaya. Jam kantor, kami bolos dan main?

"Bisa ya GM seperti ini? Jam kerja malah ngajak main?" sindirku, masih dengan suara serak setelah menangis.

"Apa yang nggak bisa buat GM?"

"Sombong."

Mas Bram tertawa, mengusap puncak kepalaku, tatapan matanya penuh kehangatan.

"Jatah cuti kita kan masih banyak, ya nggak papa, biar mood kamu balik." senyumnya manis sekali, bikin hati meleleh seperti keju mozarella yang dipanasin, " air matanya dihapus dulu tuh, masa jalan-jalan mukanya jelek gitu."

Aku manyun, membuka tas dan mengambil pouch make up ku. Saat membersihkan wajah dengan tisu, ponselku bergetar dan ada notifikasi pesan masuk.

Jodoh Pasti Bertamu [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang