Lelaki yang duduk di depanku manggut-manggut, menyimak dengan serius perkenalan dari adik perempuanku. Kadang dia tertawa geli dengan gaya bicara yang diselingi lelucon oleh gadis itu. Mey, memang anak yang humble dan cepat akrab. Bahkan dengan orang yang baru dikenal sekalipun.
Setelah menyudahi protokol perkenalannya, Mey melirik gelas di atas meja, "Nambah lagi kopinya Mas? Aku bilang Mbok Darmi ya?" lalu dengan cepat dia menoleh padaku, "Lah Mbak Karin, itu ndang di jawab! Piye to malah meneng."
Mas Bram tertawa, dia mengangkat kedua tangannya.
"Nggak usah, aku ngopi cuma segelas aja tiap pagi sama sore, gak baik juga kalau kebanyakan."
Meysa manggut-manggut, dia duduk di sebelahku.
"Kok kesini?" tanyaku sambil berbisik.
"Mau jadi setan."
"Setan?"
"Iya, kan kalau ada laki-laki dan perempuan berduaan, yang ketiga adalah setan, ya sudah nggak papa, Mey jadi setannya saat ini, cuma kalau sudah halal jangan lupa pajak halalnya ya."
Mas Bram tak kuasa menahan tawa mendengar jawaban polos itu. Duh Gusti, gak di kantor gak di rumah. Gini amat anak buahku.
"Krasan di Jakarta? " tanyanya kemudian, Mey myengir. (Krasan = betah)
"Krasan se mas, cuma yo ngunu kuwi, maceeeeet paraaah" tangan Mey terentang, mendeskripsikan seperti apa padat dan macetnya Kota Jakarta, "Belum ada sebulan aku kerja di sana, kantorku kebanjiran." Tawanya meledak lagi, Mas Bram juga latah ikut tertawa. Lah dua orang ini cepat amat akrab ya?
"Terus?"
"Yo WFK Mas, Work From Kos-Kosan. Piye neh, moso tetep kerjo? Nanti nggak ada bedanya aku sama ikan, sama-sama berenang." (Piye neh= mau bagaimana lagi)
Astaga, nglawak ni bocah. Tanpa sadar aku jadi ikutan tertawa. Obrolan receh itu terhenti saat terdengar suara deru mobil yang berhenti di luar pagar rumah.
Namanya juga lingkungan perumahan, halamannya cuma muat satu mobil, dan sudah di isi mobil milik Mas Bram yang lumayan besar. Sementara mobilku sendiri ada di dalam garasi yang juga tidak terlalu luas, cuma muat 1 mobil dan motor bebek milik Abah. Dulu ketambahan scoopi milik Mey. Sebelum di boyongnya ke Jakarta.
Mataku memicing, dan menyadari siapa yang datang
"E e e e, ada tamu to rupanya."
Tante Erna datang dengan setelan tunik warna kuning genjreng, jilbab nya ala ibu pejabat yang menonjolkan ujung rambut di depan. Tangannya menjinjing tas merk terkenal. Tetapi, aku tidak tahu itu asli atau seri KW nya. Jaman sekarang kan gampang, mau gaya kayak Syahrini juga bisa.
Mas Bram menatapku dengan tanya, aku berdiri dan menyambut tanteku yang rada julid ini. Sejujurnya aku malas sekali, kenapa dia datang tepat saat Mas Bram berkunjung.
Kucium punggung tangannya takzim, diikuti Mey.
"Kenalin Mas, ini tanteku. Tante Erna, adeknya Ummi."
Mas Bram melakukan hal yang sama, mencium punggung tangan Tante Erna tanpa berpikir aneh-aneh. Berbeda dengan Tanteku, pandangan matanya sudah seperti mesin scan yang memindai dari ujung rambut sampai ujung sepatu yang dikenakannya. Tidak hanya sekali tapi tiga kali dia melakukannya dengan dahi sedikit berkerut.
"Teman kamu Rin?" tanyanya kemudian.
"Bos Karin di kantor Te," jawabku pendek, mataku melirik Meysa yang juga tengah melirikku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jodoh Pasti Bertamu [TERBIT]
Romansa"Kartu Keluarga saya masih banyak yang kosong Rin, cuma berdua dengan Ibu." "Terus?" "Saya mau nulis nama kamu disitu." 😛😛😛 Namaku Karina Putri, tepat di usiaku yang ke-32 tahun, Puguh Bahrudin -lelaki pujaan hatiku- tiba-tiba menghilang tanpa...