Meskipun dikenal ramah, nyatanya kepribadian Era tidak semanis yang orang-orang lihat.
Dia punya kebiasaan menilai seseorang dari penampilan luar, juga paling menolak keras untuk meminta maaf lebih dulu ketika dia merasa kalau itu bukan salahnya.
...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Sekitar pukul setengah lima pagi, terdengar suara rusuh dari rumah sebelah. Suara rusuhnya juga bukan adu mulut, melainkan kokok ayam.
Kokokannya menggelegar tak henti-henti. Dari suaranya yang ribut, dapat kusimpulkan bahwa Katherine—ayam kate Pak Budi, kalau kalian lupa—telah sukses bertelur. Sekarang dia pasti tengah pamer kepada seluruh dunia, Woy! Aku punya anak!
Biasalah. Perangai ayam. Kalau telurnya menggelinding pecah mungkin barulah kokokannya berhenti. Barangkali dia diam-diam depresi.
Sembari mendengarkan kericuhan Katherine, aku terduduk di tepi ranjang dengan kening berkerut. Ada yang rasa-rasanya kulupa.
Oh, iya. Kelvin minta berangkat pagi karena hari ini jadwal piketnya. Sekarang pukul setengah lima lebih sepuluh menit, tersisa empat puluh menit sebelum dia datang menjemput. Oke, tidak masalah. Aku bisa mandi koboi.
Lalu apa lagi?
... OH!
BUSET, RA, TUGAS BU ISMA!
Bagai musang yang gesit, aku melompat bangun dan langsung meluncur ke meja belajar. Buru-buru menyiapkan alat tempur ke sekolah, mandi koboi, transformasi mengenakan seragam pramuka secepat Sailor Moon, memeriksa ada atau tidaknya lipatan penanda PR di setiap buku yang akan dibawa, lalu bolak-balik dari lemari baju sendiri sampai ke meja setrikaan hanya untuk mencari pasangan kaus kaki.
Sebentar. Aku berdiri mematung di tengah-tengah kamar. Memindai pakaian dari kaki, rok, atasan; kemudian berderap panik lagi ke meja setrikaan guna mencari kacu pramuka. Minggu lalu kami main tanah, berarti kacuku ada di meja setrikaan, atau keranjang baju.
Inilah akibat bangun tidur kurang dari satu jam sebelum dijemput. Jangan ditiru.
Sambil menenteng handuk dan pasangan kaus kaki yang telah ditemukan, kunyalakan mesin printer di pojok meja belajar. Waktunya mencetak tugas cerpen yang batas waktunya sudah terlambat dua hari!
Aku diam menatap laptop dan printer bergantian sampai kulihat mama datang dan bersedekap di depan pintu kamar. Entah atas dasar apa tiba-tiba cengirannya timbul. Padahal beberapa saat sebelumnya mama masih cemberut sambil menggetok panci di dapur.
“Masih jam enam kurang, lho. Semangat banget, ya, mau pergi ke sekolah?”
“Ojeknya minta berangkat pagi,” kilahku.
Mama, dengan alis turun dan ujung bibir terangkat tinggi, menyahut, “Oh.”
Aku menyipit. Biarlah kalau dibilang jutek. Yang jelas reaksi mama sudah termasuk ke dalam prediksi: itu tatapan jahil, iseng, berusaha menggoda. Makanya dengan tegas aku berkilah sekali lagi. “Kelvin ada jadwal piket, jadi mau enggak mau Era harus ikut berangkat pagi.”