17 | Liburan Tanpa Tugas? Hoaks!

227 84 105
                                    

Setelah memastikan ransel berisi pakaian gantiku aman di bagasi bawah bus, aku melipir ke tepi lapangan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Setelah memastikan ransel berisi pakaian gantiku aman di bagasi bawah bus, aku melipir ke tepi lapangan. Duduk sendiri menunggu temanku, si cewek ganteng yang jangkung, sambil tak henti mengunyah nasi.

Bukan nasi secara harfiah, melainkan lontong.

Aku diantar ayah untuk berangkat ke sekolah, jadi aku tidak tahu kabar tetanggaku yang satu itu. Mungkin ada yang bertanya-tanya atau penasaran kenapa aku tidak menunjukkan interaksi dengannya selama beberapa chapter ke belakang, tetapi tenang saja; tidak terlihat ada masalah. Tidak ada tanda-tanda kalau dia tahu aku menyembunyikan sesuatu juga.

Belum lama setelah aku datang, Kelvin datang menghampiriku sebentar hanya untuk menyodorkan sebungkus gorengan. Kuterima satu bakwan gendut yang tidak begitu garing dan kukunyah bersama lontong sampai habis tak tersisa.

Tidak banyak—tepatnya tidak ada—yang kami bicarakan. Aku tidak susah-susah memikirkan topik karena kami duduk di bus yang berbeda. Percakapan yang terjadi kupikir tidak ada pentingnya.

Kalau kalian masih penasaran juga, kutunjukkan secara singkatnya.

KELVIN: (datang menghampiriku, menawarkan gorengan) "Ra, bawa AirPods?"
AKU: (menatapnya sambil mengunyah bakwan) "Bawa."
KELVIN: "Pinjam satu, dong."
AKU: (kebingungan) "Kok, cuma sebelah? Enggak bisa dipakai, dong?"
KELVIN: "Enggak apa-apa."
AKU: (masih bingung, tapi tetap merogoh tas selempang) "Jangan hilang."
KELVIN: "Oke."

Selesai.

Setelah itu aku bangkit untuk membuang sampah, sedangkan Kelvin hengkang menghampiri teman-temannya.

Kemudian akhirnya Pak Gun mengumumkan bahwa kursi-kursi di bus sudah boleh ditempati. Jadilah aku langsung menginjakkan kaki ke dalam bus.

Bu Isma yang membagikan kalung name tag berhasil menarik perhatianku. Bukan karena pakaiannya yang terlihat lebih santai tanpa melunturkan kesan "guru", melainkan karena rambutnya.

Percayalah, beliau seolah teguh pendirian dengan sanggulnya setiap hari.

Padahal kalau dikepang atau dikucir kuda bakal terlihat berkali lipat lebih manis, lho. Asli. Memang bukan urusanku, tetapi sepertinya aku akan mengajak anak cewek sekelas untuk membujuk Bu Isma mencoba gaya rambut yang baru.

Aku baru saja hendak fokus memainkan ponsel sebelum tiba-tiba Dine datang dengan komentar barunya.

"Aku curiga Bu Isma dan anggota keluarga berjenis kelamin perempuan di rumahnya punya kewajiban pakai sanggul dari generasi ke generasi," katanya. "Apa kita juga harus bikin strategi dan tim gabungan biar Bu Isma ganti model rambut?"

"Tadi aku juga punya niat begitu."

"Emangnya siapa yang enggak? Karyawisata pakai sanggul padahal bukan Hari Kartini; apakah waras?"

Fotocintasis #1: 16 Tahun [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang