22 | Damai-Damai Sebelum Badai

178 77 55
                                    

Dine tidak datang sendiri

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Dine tidak datang sendiri. Ada Wahyu di belakangnya. Dengan langkah terburu-buru bak mendengar kabar kawannya cedera serius, mereka mendatangiku dan menanyakan kondisi untuk sekadar berbasa-basi.

Terdengar profesional? Oh, tahan dulu. Nyatanya, perbuatan mereka yang selanjutnya amat tidak profesional.

Bukannya segera memberikan pertolongan pertama, mereka malah adu mulut. Hanya karena meributkan siapa yang akan membopongku kalau aku goyah di tengah jalan. Bu Isma bahkan sampai berdeham keras guna mengingatkan mereka bahwa ada pasien darurat di sini. Akhirnya diputuskanlah bahwa Wahyu bersedia meminjamkan punggung andai aku butuh.

Berkat keputusan itu, aku berhasil kuat jalan sampai kamar. Wahyu—untungnya—batal menggendongku di punggung.

Sudah ada Mona dan Raya di dalam kamar. Bersedia dengan satu pak es batu yang berhasil didapat berkat mengemis kepada pegawai vila bagian dapur.

Tepat setelah aku selesai mandi untuk yang kedua kalinya, Raya menawarkan, "Mau kuurut?"

Tawaran rendah hati itu langsung kutolak dengan gelengan keras. Melihat jawabanku, Raya berkacak pinggang. Matanya berkilat di balik lensa kacamata. Maka dimulailah sesi adu mulut yang entah keberapa dalam satu hari.

Rentenir kesayangan X Bahasa 2 itu menyalak, "Kalau enggak langsung diurut, besok bisa bengkak parah! Bahkan enggak bisa jalan!"

Aku membalas dengan lebih garang, "Kalau diurut sama yang bukan ahlinya, aku takut enggak bisa jalan betulan!"

Mona bergerak menengahi. Dengan senyum matahari Teletubbies mengatakan bahwa yang penting kakiku dikompres terlebih dahulu. Masih dengan senyum Teletubbies pula, Mona mengingatkan tentang aku yang harus mengurangi agenda lari-larian atau apa pun yang banyak memanfaatkan dan membebani kaki—lebih-lebih lagi bagian pergelangannya.

Bu Isma tidak bisa menjanjikan kakiku diurut oleh yang ahli dalam waktu super dekat. Akhirnya beliau berinisiatif memberiku obat oles yang panasnya menyerap dan membuat pergelangan kakiku nyaman paling tidak sesaat.

Tidak banyak yang tahu kejadian itu, tetapi Teresa termasuk ke dalam golongan yang entah-tahu-dari-mana-padahal-beritanya-tidak-tersebar. Itulah mengapa dia bisa sampai ke kamar di mana kami berempat sedang beradu pendapat tepat lima menit sebelum jam makan malam.

"Enggak bisa ikut makan malam, dong? Kan, aulanya di atas?" tanya Teresa.

Rasanya aku ingin bilang, Re, aku cuma keseleo. Bukan patah kaki.

"Sebenarnya aku ada ide." Mona angkat suara. "Nanti Dine aja yang bawa makanan bagianmu ke kamar. Jadi kamu enggak perlu ke mana-mana."

Dine berdecak lidah tepat setelah Mona berkata demikian. Katanya, "Guys, guys. Kalian meremehkan Era. Ini cuma keseleo. Enggak ada apa-apanya dibanding gulat di toilet sekolah melawan geng kakak kelas cabe-cabean."

Fotocintasis #1: 16 Tahun [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang