10 | Sebuah Grup Bernama "DOR!"

279 95 96
                                    

Suara denting peralatan makan adalah yang pertama kali menyambutku ketika hendak membuka mata

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Suara denting peralatan makan adalah yang pertama kali menyambutku ketika hendak membuka mata. Disusul oleh lanskap langit-langit, lampu, dan desingan lain yang kukenali sebagai suara kipas angin.

Baru sejenak menarik napas, kudengar seruan, Rasen-shuriken! dari arah televisi. Seketika aku termenung, mengingat mama selalu lebih memilih Upin & Ipin ketimbang Naruto.

Barulah aku tersadar, bahwa aku masih menumpang rebahan di rumah orang.

Untuk mengembalikan nyawa ke tempat semula, aku mengerang-ngerang sambil meregangkan sekujur tubuh layaknya bayi diganggu saat tidur (tenang, warganet; aku tidak bermaksud mengaku-ngaku selucu bayi). Terus meregangkan otot-otot bahkan saat kurasakan tanganku tak sengaja menabrak pelipis orang.

Kelvin mendesis risi. Ditepisnya tanganku sekuat tenaga, tetapi aku bertahan lebih kuat karena tidak ingin acara menguletku diganggu.

Puas mengulet, aku menoleh. Berhadapan dengan separuh kepala Kelvin yang menghalangi layar televisi. Suara denting-denting menyebalkan itu rupanya berasal dari benturan antara sendok dan piring yang sedang dia pegang. Kalau dia anak mama, sudah pasti kena pelototan berkali-kali karena makan saja ribut.

Dan betul dugaanku, sedang dilakukan penayangan ulang episode-episode lama Naruto sampai aku mulai hafal alurnya.

Kelvin menoleh sekilas, menggigit nugget. "Udah bangun?"

Kujawab, "Belum."

Kali ini Kelvin betul-betul menoleh padaku. Matanya menatap curiga. Entah konyol betulan atau sedang iseng saja mengajak orang yang baru bangun tidur langsung melakukan drama.

"Siapa kamu?"

"Ratu Pantai Selatan. Yang punya badan lagi meraga sukma." Aku menoleh ke sana kemari, mencari jam dinding. Begitu tak kutemukan di mana-mana, aku menatap puncak kepala Kelvin lagi. "Wahai makhluk hina, jam berapakah ini?"

"Setengah tujuh malam, Ndoro¹," jawab Kelvin. Dia sodorkan botol minumku dari ransel. "Silakan diminum dulu air sucinya. Apakah Anda ingin sekalian makan? Mumpung lauknya masih banyak di dapur, hamba bisa mengambilkan sepiring nasi."

Aku tergelak. Langsung segar. Perlahan aku menggeleng sebagai jawaban. "Mamaku udah pulang, belum?"

Kelvin menyuap makanan di sendok, mengangkat ibu jari, menunjuk dapur yang merupakan sumber dentingan piring paling banyak. Setelah sengaja melambat-lambatkan kunyahan begitu tahu aku menunggunya bersuara, akhirnya dia membuka mulut.

"Udah lumayan lama, sih. Tapi enggak ada tanda-tanda langsung ke rumah. Sekarang lagi makan bareng ibu," ujarnya.

Kutolehkan kepala ke kanan dan ke kiri. Bersiap melontarkan pertanyaan ke sekian. "Mbak Lila ke mana?"

"Jalan sama pacar."

Ujung bibirku naik sebelah. "Kamu enggak?"

Kelvin batal menyuap makanan. Bagai hantu di film horor, dia menoleh super pelan, matanya memicing. "Tunggu aku selesai makan, habis itu kita berantem," katanya geram.

Fotocintasis #1: 16 Tahun [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang