01 | Kita Bicara Tentang Kelvin

907 165 882
                                    

Sebenarnya, semua dimulai sekitar dua pekan sebelum keberangkatan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Sebenarnya, semua dimulai sekitar dua pekan sebelum keberangkatan. Aku akan mencoba bercerita dengan ramah agar kalian betah.

Duduk diam di sana. Jangan ke mana-mana!

Setelah subuh, suasananya mendadak cerah karena matahari semangat betul menjalankan tugas. Dilengkapi dengan kokok ayam kate Pak Budi yang sering membuatku berasumsi kalau hewan malang itu kesurupan jin ketawa. Dan masih banyak lagi suasana sempurna lain yang kalau dikiaskan tidak akan habisnya.

Aku tidak akan memulai semuanya dari jam beker yang ber-KRING KRING. Soalnya aku tidak punya jam beker.

Aku akan memulai hari dengan sebuah kefrustrasian kecil di meja belajar.

Di depan laptop, aku meratap. Terpaku sejenak dengan pikiran kosong. Tugas Bu Isma masih seperempat jalan, yakni membuat cerpen bertemakan "Dinding" yang harus mencapai 2000 kata. Batas pengumpulannya lima menit sebelum bel masuk.

Walau sebenarnya tugas ini sudah ada sejak seminggu yang lalu, sih.

Sebenarnya aku bisa menggunakan cerpen yang memang sengaja boleh digunakan untuk umum dari internet. Sayang beribu sayang, Bu Isma tahu betul mana gaya bahasa kami dan mana gaya bahasa colongan. Beliau mengenali karakter dua puluh anak didiknya lewat gaya bahasa dalam kurun waktu satu setengah bulan. Sisi mengerikan Bu Isma inilah yang membuatku berniat bolos hari ini.

Oke. Langkah pertama adalah mencari sekutu. Ayo telepon Dine!

"Iya, Er?"

"Tugas cerpenmu udah?"

Suara Dine tidak terdengar sekitar dua detik. Ketika kuhitung sampai tiga detik berikutnya barulah terdengar tarikan napasnya. "Oh ...."

"Udah?"

"Udah, dong! Kukumpulkan kemarin waktu kamu dan Kelvin asyik pacaran sambil minum es kelapa." Bangga betul suaranya di ujung sana. Padahal yang dia katakan itu salah. "Pas iseng kubongkar file laptop kakakku, tiba-tiba aku lihat ada naskah terbengkalai. Katanya pakai aja, terus ganti tokoh penjahatnya jadi dinding semua. AHAHA."

Aku menyumpah. "Enggak setia kawan."

"Ei, kamu baru tanya-tanya sekarang. Jangan ngambek ke aku. Utututu." Walau jauh, aku yakin saat ini Dine mengerutkan bibir sambil tersenyum mengejek. "Jangan bolos, ya, Beb. Aku lagi patah hati, nih. Nanti enggak ada teman."

"Bolos. Dadah." Tanpa menunggu sahutan Dine, kuputuskan sambungan telepon secara sepihak. Laptop kumatikan dan segala buku pelajaran kusisihkan sampai ke pojok meja.

Tapi kalau hari ini bolos, aku menimbang-nimbang segala risiko, besok pasti disindir Bu Isma.

Aku mengerang pelan. Berusahamelawan hasrat untuk kembali melemparkan diri ke atas ranjang. Nahas, keinginanitu benar-benar tinggi. 

Fotocintasis #1: 16 Tahun [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang