Pada pukul sebelas lebih beberapa menit, serangkaian acara telah usai, dan kini waktunya tukar kado.
Tidak ada acara malam puncak yang paling kusuka selain sesi tukar kado. Selain karena pada sesi ini semua audiens diajak untuk aktif, aku juga berkesempatan mendapatkan kado absurd yang pasti bakal kusimpan baik-baik di rumah. Karena bagiku, kado terabsurd biasanya yang paling terus diingat dan paling berkesan.
Bukan berarti aku menolak kado waras, ya. Hanya saja kesannya kurang berwarna.
Aula diisi keramaian yang tak ada habisnya. Heboh sana, heboh sini, angkat kamera depan di mana-mana, dan berbagai kondisi yang membuat orang-orang introver akan memilih untuk menepi saja.
Kunyalakan ponsel untuk yang kesekian kali, resah menanti waktu. Dua puluh menit lagi waktunya berganti hari.
Dua puluh menit lagi, ulang tahun Raya dan Kelvin.
Miya dan Mona dengan luwes memisahkan diri di tengah keramaian. Beberapa orang pun sama; awalnya melipir ke tepi, akhirnya lenyap entah ke mana. Namun, tidak dengan aku dan Dine yang bertugas mengawasi Raya; kami menciptakan keributan sendiri, berencana bergantian membuka kado sambil mendokumentasikannya.
Ada Galang juga bersama kami, jadi Raya tidak menyadari kepergian Mona akibat terlalu asyik adu gombal sampai mulut berbuih dengan Galang.
Lalu, Putri muncul juga entah dari mana. Setengah girang setengah merengek bilang kehilangan Jenny dan Nindi. Aku tidak tahu ke mana Jenny pergi, tetapi tentu saja aku tahu alasan kenapa Nindi hilang. Cewek itu pastilah sedang menyiapkan kado untuk Raya, dan kemungkinan besar ada Abang juga bersamanya. Toh, mereka berdua sama-sama kebagian mengurus kado.
Wahyu juga ikut melipir bersama kami. Akbar mengekor di belakangnya, menggenggam handycam serta mengenakan blangkon¹ hitam bermotif batik emas di kepalanya.
Kutunjuk blangkon itu karena murni penasaran. "Itu punya siapa, Bar?"
"Punyaku," jawab Akbar. "Dari tukar kado."
"Wih. Mirip wong Jowo asli, rek²," puji Galang sambil menepuk-nepuk pundaknya. "Coba nyanyi, dong."
"Lingsir wengi³ ...."
"Ya, bukan lagu itu juga maksudnya."
Bertambah ramailah lingkaran kami, karena anggotanya terus bertambah.
Dine mengaku bahwa dia membungkus satu set mukena berwarna merah muda super mencolok sebagai kado. Dia tidak bisa tenang sedari tadi. Sibuk menoleh ke sana kemari hanya untuk mencari tahu di tangan siapa mukenanya sampai.
Raya berasumsi, "Anak cewek kelas sebelah, kali, Din."
Namun, Dine menggeleng tegas.
"Enggak, kok. Tadi, tuh, aku lihat sekilas ada anak cowok yang pegang mukena pink nyentrik—OH, OH! ITU DIA! WAHAHAHAHAH! IPANG!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Fotocintasis #1: 16 Tahun [END]
Novela JuvenilMeskipun dikenal ramah, nyatanya kepribadian Era tidak semanis yang orang-orang lihat. Dia punya kebiasaan menilai seseorang dari penampilan luar, juga paling menolak keras untuk meminta maaf lebih dulu ketika dia merasa kalau itu bukan salahnya. ...