34 | Babak Akhir Karyawisata

79 23 19
                                    

Tidak ingin terkena azab yang tidak-tidak, akhirnya kuhabiskan obat itu dalam beberapa tenggakan tanggung

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Tidak ingin terkena azab yang tidak-tidak, akhirnya kuhabiskan obat itu dalam beberapa tenggakan tanggung. Kerutan di keningku tidak kunjung santai selama meminum obat. Tujuannya satu: guna menghalau sensasi menyengat dari rempah-rempah di dalam obatnya.

Begitu aku hendak menoleh untuk pamer bungkus obat yang sudah kosong, cowok di sebelahku sudah sibuk sendiri di alam mimpi.

Oh, jelas aku tidak berminat mengganggu orang sakit.

Biarlah dia tidur. Kalau sakitnya kelamaan, bisa-bisa aku kehilangan ojek andalan.

Bingung ingin berbuat apa (karena teman gosipku duduk di deretan bangku tengah semua), tanganku bergerak merapatkan jaket sampai tudungnya pun kutarik rapat-rapat. Pelan-pelan aku bersandar begitu sensasi tidak jelas itu datang menyerang perut lagi.

Plastik di tanganku bergemerisik selama aku bergerak-gerak guna menghalau rasa dingin. Duduk menekuk kaki, bersilang tangan dan menjepitnya di bawah ketiak, bahkan sampai melepas sepatu untuk meringkuk—dinginnya masih menusuk.

Seolah-olah tahu badanku sedang tidak fit, para susunan partikel es tak kasat mata itu memanfaatkan kondisi dengan cara memborbardir pertahanan tubuhku tanpa pandang bulu.

Padahal Kelvin dalam sekali pindah posisi saja sudah diam nyaman. Kenapa aku malah mirip cacing kepanasan?

"Ra, berisik."

Aku merengut. Tersentil. "Aku juga maunya diam."

"Kenapa, sih?" Kelvin menoleh. Lelah dan keputusasaan terpancar dari wajahnya yang kuyu. "Kebelet?"

"Kedinginan." Aku manyun, mengeluh dalam suara pelan nyaris berbisik sambil menoleh ke belakang dan menyempatkan diri untuk mengecek bangku depan. "Bu Isma iseng banget naikin AC-nya. Kenapa enggak ditutup aja sekalian?"

Cowok di sebelahku ikut-ikutan menatap ke depan, lurus ke arah kap AC yang secara terang-terangan mengarah pada kami. Namun, lain denganku, Kelvin justru tidak merasa terganggu sekalipun. Dia memang bergerak-gerak memeluk diri, tetapi tidak terlihat kedinginan. Justru terlihat lebih berharap semoga AC-nya lebih dingin.

"Mau kututup?"

"Aku belum minat kena santet Bu Isma."

"Lebay." Kelvin menyenggolku sampai aku tumbang nyaris terguling dari bangku. "Harus berani speak up, dong. Masa anak Bu Isma enggak berani speak up padahal ibunya kece badai?"

Aku cemberut. Kembali bergelung. "Aku anak Bu Nora, kok."

"Oh, kalau gitu aku anak Pak Bima, bukan Pak Gun."

"Eh, by the way, mau tukar tempat, enggak?" Kubuka lagi topik pembicaraan lain secara acak. "Emangnya tega, gitu, lihat tetanggamu yang lemah lembut ini tiba-tiba jatuh keguling waktu tidur?"

Meskipun tahu betul sebenarnya aku sedang kebosanan, Kelvin tetap meladeniku walau matanya sudah siap terpejam rapat kapan saja.

Agak buang-buang tenaga dia membalas pertanyaanku dengan, "Ada, ya, orang yang tega mau tukar tempat bahkan ketika udah tahu tetangganya lebih sakit daripada dia sendiri?"

Fotocintasis #1: 16 Tahun [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang