"Er! Era!"
Aduh. Kugigit bibir dengan gemas. Baru ingat ada Teresa yang mengintai proses kejadian tadi secara dari jauh.
Dengan terpaksa, aku berhenti dan langsung berbalik. Sebelum cewek itu angkat suara, tangan kananku terangkat memintanya untuk berhenti bicara. Aku butuh waktu beberapa detik sebelum menatap Teresa.
Kutarik napas panjang, lalu membuangnya perlahan.
"Tere," kataku sebelum Teresa mengatakan apa-apa. "Kalau besok ada bagian yang harus kuisi, atau mungkin ada info tentang progres rencana kejutan, kirim pesan aja, oke? Aku mau bed rest. Kayaknya kakiku sakit lagi."
Teresa adalah cewek kuat yang kukenal selain Dine. Dia tidak mengalihkan pandangannya saat bicara, juga tidak menunjukkan ekspresi yang mudah dibaca. Namun, dari caranya menatapku, aku tahu kalau dia sedang berusaha menekan rasa penasarannya sekuat mungkin.
Akhirnya Teresa mengangguk, menggumamkan, "Oke."
Satu tepukan ringan Teresa mendarat pada lengan atasku, disusul dengan goyangan pelan sampai aku rileks sendiri. Sekarang aku paham kenapa anak-anak kelas X Bahasa 1 menyayangi ketua kelas mereka yang satu ini.
"Istirahat sampai puas, lho, ya. Besok, kan, berenang lagi. Harus sehat kalau mau ikut," katanya. "Oh, ya. Makasih banyak sebelumnya, kamu keren."
Teresa berbagi cengiran seolah tidak terjadi apa-apa. Respekku padanya mendadak tinggi. Jadi aku mengangguk dan menyanggupinya sambil mengangkat hormat.
"Siap, Bu," ucapku sungguh-sungguh.
Ketua kelas X Bahasa 1 itu tersenyum lebar untuk yang terakhir kalinya, lantas pamit lebih dulu dan berjalan ke arah tadi dia datang. Meninggalkanku sendirian, tenggelam dalam gejolak emosi dan jalan pikiran yang mendadak buntu.
Bukan aku sendiri yang berjalan di lorong. Masih ada banyak bunyi nyaring tamparan alas sandal jepit dengan lantai. Ada juga suara ketukan dari sepatu kets yang terdengar halus.
Pintu kamar tidak hanya satu. Ada banyak pintu bernomor berderet rapi yang kulewati. Lorong juga tidak gelap sama sekali. Meskipun nyatanya ada beberapa lampu yang sepertinya sengaja diredupkan. Barangkali karena sudah masuk jam malam. Namun, di meja resepsionis di depan sana, lampu kandelir masih setia memberikan cahaya berwarna hangat.
Ada banyak sudut yang bisa kueksplorasi malam ini juga. Temasuk salah satu tangga yang mengarah ke lantai bawah. Aku ingat kata Ipang, ada tempat dengan lampu-lampu hias di sana. Langkahku memang tersendat berkat cedera kaki, tetapi itu tidak menghalangiku untuk melakukan satu petualangan terakhir sebelum tidur.
Mungkin kakiku cedera satu, tetapi menebus rasa penasaran itu nomor satu.
Toh, tidak akan terjadi hal yang buruk di sebuah lokasi berfoto dengan lampu-lampu estetik, bukan? Berdiri di sana sampai hati tenang seharusnya sudah cukup.
KAMU SEDANG MEMBACA
Fotocintasis #1: 16 Tahun [END]
Novela JuvenilMeskipun dikenal ramah, nyatanya kepribadian Era tidak semanis yang orang-orang lihat. Dia punya kebiasaan menilai seseorang dari penampilan luar, juga paling menolak keras untuk meminta maaf lebih dulu ketika dia merasa kalau itu bukan salahnya. ...