31 | Habis "Maaf" Terbitlah "Tolong"

211 83 73
                                    

Bu Isma benar-benar menahan diri untuk tidak menegur kami

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Bu Isma benar-benar menahan diri untuk tidak menegur kami. Beruntung ada Jenny, perhatian beliau teralihkan kepada si cantik nan pintar itu.

Lucunya, Pak Gun malah ikut ke tengah khalayak, bertanya-tanya bak reporter, dan bahkan mengusulkan ide gila untuk anak didiknya yang lanang itu seperti, "Mana si Kelvin? Ayo, sini. Bapak bantu ikat badannya di perosotan, biar dia tidur di sini aja sekalian."

Nahas, dehaman Bu Isma menggagalkan segalanya.

Keramaian perlahan surut ketika Miya dan Mona mengambil kendali acara dengan sekotak kue. Dikarenakan besar kue yang dibuat tidak seberapa, maka disepakatilah bahwa satu kotak kue dibagi dua sama rata. Untuk Raya dan Kelvin semata. Urusan ingin dibagi-bagi lagi terserah kepada mereka.

Untungnya, mereka tahu diri untuk berbagi.

Aku masih belum pindah tempat. Masih setia duduk di tepi kolam dengan satu kaki di bawah air.

Galang kemudian datang, berjongkok di sebelahku agar bisa berhadapan langsung dengan Raya maupun Kelvin. Air wajahnya serius. Tangan kanannya terangkat dan aku nyaris tertawa untuk yang kesekian kalinya pada tengah malam ini hanya karena sebuah korek api gas.

"Nih. Karena kue itu susah dibuatnya, butuh effort yang luar biasa, dan bakal sayang kalau terkena polusi udara, maka kami memutuskan untuk memisahkan kue dan api yang ditiup—ei, jangan ketawa, Ray. Ini serius. Sebagai salah satu koki, aku enggak mau kuenya bau asap," ucap Galang masygul. "Yuk, siapa duluan yang mau tiup lilin?"

Dine menepuk pundaknya dari belakang. "Tiup api, Lang."

"Oh, iya. Itu maksudnya."

"Dia aja dulu," Raya menunjuk Kelvin dengan sedikit tidak nyaman, barangkali karena memang belum tahu bagaimana perangai anaknya. "Tadi katanya sekarang umur dia tujuh belas, 'kan? Berarti lebih tua."

Kelvin berjengit geli. "Aku setua itu, ya?" tanyanya canggung.

"Maksudnya, kan, dahulukan yang lebih tua."

"Hei," tegur Wahyu tak sabar. "Lama-lama kutiup, nih."

Dine manyun genit hanya untuk mencibir si ketua kelas. "Bapak Wahyu sudah tidak sabar ingin bobo ganteng. Ayo buruan," godanya.

Korek api gas dinyalakan, lalu ditiup bergantian. Sekecil itu perayaannya, tetapi bukan main ramainya. Mona maju ke depan, menyerahkan dua sendok kecil dengan diplomatis. Menjadikan sebuah pertanda bahwa kue yang sudah dibelah dua sama rata kepada kedua pihak akhirnya boleh mulai disantap.

Raya menyuapkan potongan pertamanya kepada Mona. Dia bilang dia tahu betul sudah pastilah Mona yang membuat kuenya, karena tidak mungkin wajah bundar itu melebihi kecerahan matahari Teletubbies andai kuenya adalah hasil beli dari toko kue.

Setelah Mona, secara mengejutkan aku mendapat giliran. Alasannya tidak haru-haru amat. Katanya supaya aku tidak masuk angin karena perut kosong setelah basah-basahan.

Fotocintasis #1: 16 Tahun [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang