"Lho, Er? Matamu ...?"
Aku mendongak, beradu pandang dengan Dine. Bingung dengan pertanyaannya yang bahkan belum habis dilontarkan. Mataku kenapa?
Masih sambil diperhatikan Dine, kuangkat ponsel dari pangkuan, membuka fitur kamera, becermin di sana.
Diam-diam aku menyumpah. Mataku tidak enak dilihat. Bukan merah akibat iritasi, melainkan bengkak tipis yang mana orang-orang bisa menduga tadinya kalenjar air mataku berproduksi secara berlebihan atas nama emosi tak terbendung lagi.
Singkatnya; menangis.
"Hei? Sama siapa, Er? Siapa yang kurang ajar?" Dine bergerak-gerak mengubah posisi. "Ada kejadian apa selama jadi anak hilang? KDRT lagi?"
Waduh. Aku mengeluh sekaligus terkekeh dalam hati. Bukan main, aku amat bersyukur punya sahabat yang meluapkan perhatiannya sebanyak ini.
"Panjang. Kapan-kapan aku cerita," tukasku.
Dine mengangkat alis. "Sekarang juga boleh."
Masalahnya, aku enggak mau cerita sekarang.
"Um ... kepanjangan. Enggak enak kalau terpotong." Aku mengada-ada. Sekilas melihat-lihat pemandangan di luar kaca bus. Hanya untuk memberi waktu kepada wajah untuk memasang ekspresi aman. "Kapan pun itu, aku bakal cerita. Janji."
Dine menatapku sekali lagi sebelum kembali duduk bersandar. "Colek aku kalau butuh, oke?"
"Siap, Bu."
Sepanjang perjalanan, sopir tidak berhenti memainkan lagu-lagu awal tahun 2000-an. Mau tidak mau, sebagian besar—ralat, semua orang kecuali mereka yang terlelap, ikut bernyanyi ketika lagu-lagu familier diputar.
Dine berjoget kanan-kiri mengikuti nada lagu yang berkoar-koar dari pengeras suara. Tak lupa menyenggolku untuk ikut serta bergila ria dengannya. Menurut Dine, kebanyakan tidur di bus hanya buang-buang waktu.
Ketika lagu Selayang Pandang Pelepas Rindu milik Budi Doremi berputar, cewek jangkung itu berjongkok di atas kursinya hanya untuk menyorakkan lirik, "OH, HALIMAH! KAU CURI HATIKU ...!" kepada teman kami, Halimah, yang duduk di depan.
Maka dimulailah sesi karaoke dadakan di dalam bus.
•∆•
Vila Aries Biru bukan vila yang mewah, tapi harus kuakui luasnya mampu menampung lebih dari 41 anak dan 2 orang dewasa.
Belum waktunya pembagian kunci kamar, Pak Gun dan Bu Isma mengajak kami ke lantai teratas salah satu vila untuk melakukan acara pembukaan sederhana. Aku pribadi menyebutnya sebagai aula.
Aula itu tadinya adalah sebuah ruangan luas dengan panggung rendah di bagian depan tadinya kosong melompong. Namun, kekosongan itu dengan cepat berubah menjadi ramai karena biang-biang berisik antara dua kelas meluncur ke dalam sambil berseru-seru heboh.
KAMU SEDANG MEMBACA
Fotocintasis #1: 16 Tahun [END]
Fiksi RemajaMeskipun dikenal ramah, nyatanya kepribadian Era tidak semanis yang orang-orang lihat. Dia punya kebiasaan menilai seseorang dari penampilan luar, juga paling menolak keras untuk meminta maaf lebih dulu ketika dia merasa kalau itu bukan salahnya. ...