11 | Paguyuban Anak Bahasa

292 98 67
                                    

Pada jam istirahat, aku dan Dine mengurung diri di kelas

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Pada jam istirahat, aku dan Dine mengurung diri di kelas. Sama-sama merana karena kelupaan membawa uang jajan. Aku punya simpanan di tas—cuma tiga ribu, sih—tetapi sudah kutekadkan bahwa uang itu kupakai nanti untuk makan siang ... kalau bisa.

Tak ada kegiatan lain, akhirnya aku dan Dine mencoba mengingat-ingat permainan lama yang tidak memerlukan banyak benda. Maka dimulailah nostalgia itu satu persatu. Mulai sejak Wahyu mengejek kami lalu kabur ke kantin, sampai dia kembali lagi ke kelas dengan sepotong bakwan di tangan.

"... Mi satu-dua-tiga, mi tiga-dua-satu. Mi ciut-ciut-ciut—"

"Bukannya gulung-gulung dulu?"

"Hah?" Dine mengernyit. Dia tatap tangannya sejenak, kemudian berkata, "Ciut dulu, Er."

Aku ikut mengernyit. Tidak setuju. "Gulung dulu, tahu."

"Ciut."

"Gulung."

Kerutan di kening Dine kian jelas. "Ciut!"

Aku melotot. "Gulung!"

"Dibilang ciut!"

"Dulu pas aku SD gulung dulu!"

"Kita enggak satu sekolah! Tiap SD punya aturan mainnya masing-masing!" Dine manyun. Jarang terjadi, tetapi kali ini aku tidak heran. Efek lapar merangkap merana membuat kami lebih sensitif. "Ya udah, lompat aja ke bait berikutnya. Apa awalannya?"

Aku mencibir. "Bapak dari mana, Pak? Dari Bekasi."

"Bapak bawa apa, Pak? Bawa lemari."

"Kuncinya di mana, Pak? Ada di Lusi."

Dine berdecak, menyalak garang, "APAAN, SIH, ER? SUSI, TAHU!"

"YA UDAH, SIH! KOK, MARAH-MARAH?" Aku ikutan menyalak. Spontan marah-marah sendiri.

"Kalau begini terus, sejarah bakal mencatat sumber pertengkaran kalian adalah yang paling enggak masuk akal." Wahyu menyela. Bergantian menatap kami dengan tatapan kasihan. "Mau gorengan, enggak? Tapi sisa ini doang," tawarnya seraya menggoyang-goyangkan bakwan yang sudah termakan separuhnya.

Tentu saja aku dan Dine kompak menjawab, "Najis." Kemudian, "Ogah."

Wahyu manyun. Perlahan menarik kembali bakwannya kemudian melahap makanan itu sampai habis. Mungkin tersinggung. Aku dan Dine tidak peduli.

Kupicingkan mata ke arah kedua telapak tangan Dine yang saling mengatup di depan. Tidak melanjutkan lagu karena ingatanku kacau. Tercampur baur dengan pikiran-pikiran tak begitu penting; gugup memikirkan kertas latihan matematika, gugup membayangkan rencana yang dibuat Teresa tentang kejutan ulang tahun gabungan Raya dan Kelvin, dan yang utama tak lain dan tak bukan adalah lapar.

Walau begitu, aku masih memperhatikan sekitar dengan teliti. Terlalu teliti sampai aku merasa ada yang kurang.

"Raya ke mana, deh? Dari kemarin aku enggak lihat dia," ungkapku akhirnya.

Fotocintasis #1: 16 Tahun [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang