"Kakak Cantik!"
Aku berkedip. Tersenyum ramah seramah yang kumampu. "Iya, Princess Ayeca?"
Lalu tebak apa? Senyumannya melebar! Wah, Ma, lihat ini. Anakmu berhasil mempraktikkan teori parenting di usia 16 tahun, baru satu semester jadi anak SMA pula.
Oke, apa langkah selanjutnya?
"Ayeca kenapa nangis?"
Senyuman Ayeca meluntur. Dia menatapku, menunduk pelan. Suaranya lirih ketika mencicit, "Tadi Ayeca ke tempat burung yang banyak banget. Burungnya warna-warni, kayak pelangi gitu. Terus Ayeca ...."
Kukulum senyum. Masih bersabar. Mama pernah bilang anak kecil tidak akan berhenti bicara dari kronologi A sampai Z.
Makanya kalau mau tolong anak kecil jangan banyak ditanya, langsung gerak aja. Bujuk dia buat cari ibunya, bawa ke pusat informasi, begitu kata mama. Aku masih ingat betul nada bicaranya, bahkan sampai gayanya.
"... habis itu Ayeca ... uh ... sendirian."
Aku terkesiap begitu melihatnya sesenggukan lagi. Agak kalap kuraih tangannya, memberi tepukan kecil di sana. Matanya membulat. Tertegun melihat tangannya ditepuk-tepuk tanpa izin.
"Kalau gitu sekarang cari mama, yuk?" ajakku. "Ayeca mau ketemu sama mama lagi, 'kan?"
Tanpa menunggu lama, dia mengangguk. Bibir mungil itu cemberut. Terpaksa dikulum seolah-olah agar tidak mengeluarkan suara tangis lagi.
Akhirnya!
"Sebelum cari mama, bersih-bersih tangannya dulu, ya," bujukku super lembut dan super hati-hati.
Tanganku terulur, menarik pelan anak imut ini agar melipir dari tengah keramaian. Kutatap bungkus cokelat di tangannya, kemudian mengalihkan pandangan. Mencari tempat sampah terdekat ... oh, ada di depan sana.
Sedikit kutarik tangannya sebagai sinyal agar dia melihatku dan kukatakan, "Nah, kalau buang sampah harus ke mana?"
Dengan semangat empat lima gadis kecil itu menunjuk tempat sampah di depan sana. "Tempat sampah!" serunya.
"Pintar," pujiku senang—kali ini senang sungguhan. "Sekarang Ayeca buang sampahnya, ya. Kakak tunggu di sini."
Dalam pengawasanku, kaki pendeknya berlari-lari kecil menghampiri tempat sampah. Semangat betul menghempaskan bungkus cokelat ke dalam sana. Rasa bangga terpantul jelas lewat wajahnya yang cerah dan berlepotan cokelat itu.
Aku merogoh tas. Ingat menyimpan tisu basah dan kering sebagai benda wajib setiap kali bepergian.
"Kita ke pintu utama, yuk? Minta tolong ke kakak-kakak di sana buat cari mama. Oke?" tawarku. Harap-harap cemas karena biasanya anak kecil malah merengek ingin jalan-jalan.
Beruntung, Ayeca mengangguk. Petualangan dua anak hilang akhirnya resmi dimulai.
Dengan dalih aku membawa anak orang yang harus dikembalikan, kuberanikan diri untuk bertanya kepada pengunjung yang lewat tentang ke arah mana jalan menuju pintu keluar destinasi hutan-hutanan ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Fotocintasis #1: 16 Tahun [END]
Teen FictionMeskipun dikenal ramah, nyatanya kepribadian Era tidak semanis yang orang-orang lihat. Dia punya kebiasaan menilai seseorang dari penampilan luar, juga paling menolak keras untuk meminta maaf lebih dulu ketika dia merasa kalau itu bukan salahnya. ...