Dine mengirimiku pesan. Katanya, [Masih lama? Buruan ke atas. Nanti lauknya kubabat habis duluan.]
Dia tidak pernah main-main soal makanan, jadi aku langsung bilang ke Jenny bahwa sudah waktunya makan malam dan pada akhirnya kami berjalan berdua untuk ke aula. Tidak bertukar obrolan, tetapi saling waspada dengan pergerakan orang asing di belakang sana.
Makan malam berjalan seperti biasa. Dentingan piring, hilir angin malam, pemandangan gemerlap lampu dari atas, dan obrolan kecil sepanjang kunyahan—hampir tidak ada bedanya dengan malam kemarin.
Satu-satunya yang membedakan adalah makan malam terakhir ini kulalui dengan segenap rasa waspada, walaupun Jenny terus mengingatkan lewat tatapan bahwa aku tidak perlu rutin menoleh ke kanan dan kiri.
Selesai makan, kali ini aku mengekori Dine karena baru paham bahwa sendirian justru bisa menimbulkan masalah baru.
"Nanti kita ke aula lagi, 'kan?"
Aku meliriknya, dengan mudah menebak bahwa Dine mendadak mengantuk padahal baru pukul tujuh kurang. Sekarang kami dalam perjalanan ke kamar Raya-Mona. Berempat, kami bermain UNO sampai lima belas menit sebelum acara malam puncak dimulai.
"Sekarang ngantuk, nanti pasti melek," kataku.
"Semoga," Dine bergumam, "dan semoga ini bukan gara-gara aku kebanyakan makan."
"Kemarin kamu bergadang, dan tadi siang kamu enggak tidur." Jari telunjuk dan jari tengahku teracung selama kusebutkan dua poin itu. "Wajar kalau sekarang mulai ngantuk. Mending nanti tidur aja, deh, daripada enggak excited pas malam puncak."
Dine mengerjap, menguap lagi. "Kalau sanksinya masih yang kalah dicoret pakai bedak aku bakal ikutan, kok."
"Kenapa?"
"Jelas, dong. Kapan lagi main ke kamar orang dalam keadaan buluk dan pulang dalam keadaan wangi bedak?"
Begitu kami tiba di depan kamarnya, Raya membukakan pintu padahal aku belum sempat mengetuk.
Tanpa ba-bi-bu, Dine melepas sandal gunungnya dan terbang bebas ke atas ranjang. Berguling-guling dengan lasak sampai seprainya berantakan bagai tak tahu adab bertamu.
Raya terpaksa menariknya untuk berhenti walau harus sampai terjungkal ke bawah. Cewek jangkung itu—yang tadi bilang mengantuk, tetapi sekarang malah barbar—harus dihentikan sebelum membuat kamar orang lebih berantakan lagi.
Mona duduk di tepi ranjang yang lain. Tenang sendiri mengunyah makanan ringan dan berbagi denganku.
Selama Raya dan Dine ribut sendiri, aku menanyakan keberadaan kartu UNO. Mona memberikannya padaku dan membiarkanku mengocok kartu.
Sampai kartu nyaris terbagi rata, barulah mereka berhenti bergelut dan mulai duduk manis dengan napas tersengal-sengal.
Kartu selesai dibagikan, peraturan mulai dituturkan. Yang menang pada permainan pertama boleh tidur sampai lima belas menit sebelum acara malam puncak dimulai dan tidak mengikuti permainan selanjutnya, sedangkan yang kalah mendapatkan sanksi; yang mana tidak selembut coret wajah pakai bedak.
KAMU SEDANG MEMBACA
Fotocintasis #1: 16 Tahun [END]
Teen FictionMeskipun dikenal ramah, nyatanya kepribadian Era tidak semanis yang orang-orang lihat. Dia punya kebiasaan menilai seseorang dari penampilan luar, juga paling menolak keras untuk meminta maaf lebih dulu ketika dia merasa kalau itu bukan salahnya. ...