26 | Negosiasi Jennyfer Cantika

48 20 4
                                    

Setelah makan siang, aula dan balkon langsung sepi

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Setelah makan siang, aula dan balkon langsung sepi. Padahal pengunjung vila bukan hanya rombongan sekolah kami.

Tidak heran, pada jam siang begini, kebanyakan orang kembali melemparkan diri ke kolam renang, atau sekadar berkumpul di kedai minum yang masih berada di dalam wilayah vila.

Uniknya, delapan remaja di sini adalah pengecualian.

Sebagai perwakilan kelas dan "pion utama" dari rencana mainan nan serius, kami berkumpul di meja paling pojok, paling dekat balkon, paling terkena angin sepoi-sepoi.

Aku duduk di sebelah Mona, begitu pula Dine. Kompak betul kami menyandari Mona yang empuk. Sudah mengantuk karena perut kenyang, kini semakin mengantuk pula aku tatkala Mona mengusap kepalaku dan Dine secara bergantian.

"Mona buat aku." Dine mendadak posesif.

Aku tak mau kalah. "Enggak boleh. Aku duluan."

Wahyu menatap kami. "Jelas-jelas Akbar duluan."

Oh, iya. Aku dan Dine mendadak batal rebutan.

"Oke. Karena Teresa masih mengunyah, aku yang mulai duluan." Wahyu meminggirkan piring dan gelasnya. "Kita mulai rencananya menjelang acara malam puncak, dan kira-kira bakal begini jadinya: pertama, kita buat pinggir kolam lumayan ramai walau kondisinya udah masuk jam malam. Enggak usah mencolok. Cukup bikin kegiatan kecil-kecilan aja. Kayak misalnya main gitar dan nyanyi-nyanyi kecil atau apa ...."

Teresa menelan kunyahan terakhir. Dia mengangkat tangan, bersiap menyela. Kami serempak menatapnya, menanti kata-kata tambahan.

"Pokoknya ramai, tapi enggak berkerumun," tekannya. "Terus, buat Miya dan Mona; jangan lupa kuenya."

"Dan perihal pemberian kado," Wahyu menyambung dengan senang hati, "kita go with the flow aja. Tetap bawa kadonya pas sesi kejutan, tapi lihat dulu situasinya pas atau enggak buat pemberian kado."

Hm. Oke. Dapat dipahami.

Baru selesai aku berpikir begitu, Ipang mengangkat tangannya.

"Balon angkanya gimana?" tanyanya.

"Tetap dibawa, dong. Nanti sekalian buat gebuk Kelvin aja biar ramai. Buat gebuk Raya juga boleh, kalau kalian bisa," seloroh Teresa. Seolah tahu anak-anak X Bahasa 2 mustahil bisa menggebuk Raya. "Oh, iya. Karena kita enggak pakai lilin dan api di atas kue demi kebersihan dan kesehatan konsumsi, jadi kita pakai—"

"Korek apinya Hansamu?"

Aku mendelik, menoleh ke samping Mona, dan kutemukan Dine sedang tersenyum tanpa lengkungan manis pada matanya; tipe-tipe senyum awkward.

Yah, walaupun sebenarnya Dine melewatkan satu hal, sih.

Dia hanya tahu kalau Hansamu "mengisap", tetapi tidak tahu bahwa sebenarnya Hansamu konsumen rokok elektrik, bukan puntungan yang dijual di warung-warung. Mana mungkin dia bawa korek api?

Fotocintasis #1: 16 Tahun [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang