13 | Penilaian Akhir Semester

213 88 28
                                    

Mbak Lila menawarkanku ilmu rajut-merajut

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Mbak Lila menawarkanku ilmu rajut-merajut. Jarum sulam—kalau tidak salah namanya hakpen—dan benang-benangnya adalah distribusi penuh dari Mbak Lila sendiri.

Spesifiknya, ilmu ini niatnya kupelajari hanya untuk membuat sebuah benda kecil yang entah apa nilainya kalau tidak kujadikan kado ulang tahun. Bukan benda yang spesial, hanya sebuah gantungan kunci.

Iya, kalian tidak salah baca.

Aku berniat hanya memberikan Kelvin sebuah gantungan kunci sebagai kado pribadi. Bakal tetap ada kado hasil patungan, tetapi yang kubuat ini tidak berniat kuberitahu siapa-siapa.

Alih-alih membuat bentuk bola seperti yang mungkin diduga teman-teman lainnya, aku akan membuat paus.

Kalau ditanya, sebenarnya aku kurang yakin bisa membuatnya dalam kurun waktu kurang dari dua pekan—mengingat aku tidak pernah memegang benda-benda manis seperti ini.

Namun, Mbak Lila berkata lain.

"Kamu enggak kelihatan kayak orang yang pertama kali lihat hakpen dan benang rajut dari dekat, kok. Sekali coba pasti bisa."

Berkat kata-kata mutiara Mbak Lila, aku berakhir menyetujui tawarannya dan mulai mempelajari teknik-teknik dasar yang menjadi kunci dari semua bentuk kerajinan sejenis.

Kalau udah lihai bikin motif ini, ke depannya bakal lebih mudah, begitu kurang lebih maksudnya.

Entah bagaimana, sepertinya ucapan Mbak Lila ada benarnya.

Pada H-1 menjelang PAS, tepatnya pada hari Minggu yang cerah, aku memutuskan untuk kabur ke rumah tetangga dengan dalih suntuk di rumah sendiri.

Diam-diam di kamar Mbak Lila, memanfaatkan situasi di mana Kelvin sedang asyik menggocek bola di lapangan sewaan; aku membuat simpul awal dengan posisi jari super kaku sampai mendadak lupa bagaimana cara menggerakkan jari-jari tangan.

Setelah mengulang teknik yang sama untuk yang ketiga kalinya, jariku mendadak luwes.

Mbak Lila ternganga. Agak tega menganggapnya sebagai hoki. Jadi aku diminta mengulangnya tiga kali lagi.

Dan, ya, tanganku ternyata luwes sungguhan. Bukan ilusi optik.

"Wow." Mbak Lila menatap tanganku, beralih ke tangannya sendiri, lalu ke tanganku lagi. "Parah, ya. Padahal waktu itu aku butuh waktu dari pagi sampai malam buat bisa pamer ke seisi rumah kalau tanganku ini betulan tangan cewek."

Aku nyengir. Bohong kalau aku tidak bangga dengan diri sendiri.

"Habis simpul?" tanyaku.

"Bikin chain! Nih, begini caranya."

Sekali lagi aku mengernyit. "Kayak rantai?"

Mbak Lila menatapku. Kemudian mendesah pelan. "Aduh, anak bahasa," gumamnya. "Iya, secara harfiah artinya begitu."

Fotocintasis #1: 16 Tahun [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang