"Tanpa penghormatan, balik kanan, bubar jalan!"
Duh, akhirnya!
Semua tubuh yang tadinya tegap langsung lemas bagai agar-agar. Helaan napas terdengar keras dari jiwa-jiwa yang lelah kepanasan. Jam dinding menunjukkan pukul dua siang, tetapi matahari berkata lain; teriknya seolah masih tepat pertengahan hari.
Belum cukup lelah, Dine iseng meniup-niup peluit dari intonasi yang pelan hingga melengking. Raya, yang konon katanya sedang PMS hari ini, terpancing emosi dan berusaha menghajarnya menggunakan tongkat Pramuka.
Di sisi lain, Mona mengajakku untuk membeli minuman segar, tetapi aku menolak. Di cuaca panas begini lebih enak duduk bengong sendirian sambil menunggu angin lewat. Lagipula, aku mau cepat-cepat pulang. Duduk-duduk bersama Mona hanya akan mengurungkan niatku untuk pulang karena dia selalu punya topik yang seru sampai kami sering lupa waktu.
Jadi aku memanggul ransel dan pamit duluan. Menyeret langkah ke parkiran sepeda. Merasa senang bukan kepalang tatkala melihat Jelly rupanya diparkirkan di tempat yang tepat—di bawah pohon!
Seraya duduk manis di tepi jalan dengan kaki terbuka lebar—bukan bermaksud pamer celana olahraga—aku melepas atribut Pramuka. Topi, peluit, lalu kacu. Dengan telaten kulipat kacu dan berkali-kali memastikan bahwa ringnya tidak lenyap dari pandangan.
Di saat itulah, Kelvin datang menyodorkan es cincau.
"Aduh, pahlawanku."
"Halah."
Kuterima es cincau dengan senang hati. Begitu aku menyipitkan mata ke tangannya yang lain, ternyata ada sebungkus cireng bersembunyi di balik punggung.
Pasti takut dipalak.
Berdalih menunggu panas matahari agak berkurang, kami berbincang tak tentu arah di bawah pohon, masih di parkiran sepeda. Kelvin sempat mengajak untuk pindah ke tempat yang lebih layak, tetapi aku menolak. Dengan logika sederhana, Nanti kalau kita balik lagi ke parkiran malah capek lagi, dong?
"Pin."
"Hm?"
"Kata Wahyu cuma anak Bahasa yang belum karyawisata?" tanyaku tak penting.
Kelvin mengangguk tanpa suara. Sembari menggulir layar ponsel dia mengunyah cireng kemudian menelannya.
Entah refleks dari mana, kutatap cirengnya. "Kenapa tanggalnya enggak dibuat samaan bareng kelas lain?" tanyaku lagi.
"Jangan tanya aku. Aku bukan ketua panitia," ucap Kelvin tak berminat. Tiba-tiba batal menggigit cireng begitu tanganku kepergok hendak merebutnya. "Lagian, kalau terlalu banyak yang pergi dalam satu hari, ada kemungkinan satu atau dua anak bakal salah rombongan dan malah masuk ke bus kelas lain. Enggak tahu juga, sih." Kelvin berdecak lidah. Mengangkat tangan tinggi-tinggi. "Ra, tanganmu."
KAMU SEDANG MEMBACA
Fotocintasis #1: 16 Tahun [END]
Roman pour AdolescentsMeskipun dikenal ramah, nyatanya kepribadian Era tidak semanis yang orang-orang lihat. Dia punya kebiasaan menilai seseorang dari penampilan luar, juga paling menolak keras untuk meminta maaf lebih dulu ketika dia merasa kalau itu bukan salahnya. ...