Sofa di lobi utama empuk walaupun tidak seempuk kasur kamar.
Tadinya aku hanya ingin duduk sebentar untuk memasang ulang bandana sebelum ke aula atas untuk makan malam. Usut punya usut, tiba-tiba rasa nyaman itu datang dan aku batal "duduk sebentar".
Sempat ada beberapa orang yang kukenal lewat saat aku duduk diam di sofa. Nindi adalah orang pertama. Dia menyapaku sambil berusaha bersikap natural dengan plastik berisi kotak di tangannya (kutebak itu kado untuk Raya).
Akbar berlari-lari kecil menenteng jaket. Tampaknya sedang terburu-buru, tetapi dia sempat melambaikan tangan ke arahku.
Galang ikut duduk sebentar hanya untuk memberikan gombalan recehan dan kubayar dengan pujian, "Najis."
Ada juga Teresa yang malah mengira aku belum kuat jalan lama-lama. Yah, dia tidak salah, sih. Walau lebih tepatnya aku belum kuat lari.
Yang menyebalkan hanya Wahyu. Dia berlalu begitu saja, pura-pura tidak melihatku ada di sofa. Memang minta dipukul orangnya.
Di atas sofa juga kusaksikan berbagai kegiatan dan keabsurdan teman-temanku yang lain sambil mencubit-cubit ujung sweter. Entah itu iseng menggedor pintu kamar sebelah atau berlalu-lalang sambil menyanyi dengan benda apa pun di genggaman.
Bahkan tak sedikit para anak-cowok-baru-selesai-mandi yang bersikap sok keren saat lewat di depanku. Kebanyakan dari mereka berakhir terpeleset atau terselengkat kaki sendiri karena terlaku fokus pamer rambut dan postur tegap.
Agak caper, tetapi okelah.
Bukan hanya itu, berbeda dari pengurus acara kejutan yang lain, aku tidak ribut ke sana-kemari karena memang tugasku hanya satu: yakni memancing Kelvin ke lokasi kejutan.
Bukan tugas yang mudah ataupun ringan, tetapi setidaknya aku tidak perlu berlari mencari orang-orang yang menyiapkan kue, atau sibuk pusing merancang rencana kreatif untuk menggebuk Kelvin menggunakan balon angka.
Oh, tadinya—di dalam rencana—Dine juga berniat menggebuk Raya dengan balon itu. Paling tidak satu gebukan kecil, niatnya.
Namun, mengingat Raya adalah titisan murni dari Bu Isma, rencana itu batal.
Karena tidak ada satu pun dari aku, Dine, Wahyu, dan semua anggota kelas, yang ingin ditagih uang kas sebesar dua kali lipat setelah acara ini selesai.
Mood Raya adalah yang paling patut diwaspadai.
Sebaliknya, Teresa dan semua anak X Bahasa 1 sama sekali tidak keberatan untuk menggebuk Kelvin atau menenggelamkannya ke dalam kolam renang.
Mereka percaya diri karena aku pernah bilang sebelumnya bahwa Kelvin hampir tidak bisa marah. Apalagi kalau penyebabnya adalah kejutan manis dari teman-teman sekelasnya. Aku juga mungkin akan percaya bahwa cowok itu akan terus penyabar sampai akhir hayat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Fotocintasis #1: 16 Tahun [END]
Roman pour AdolescentsMeskipun dikenal ramah, nyatanya kepribadian Era tidak semanis yang orang-orang lihat. Dia punya kebiasaan menilai seseorang dari penampilan luar, juga paling menolak keras untuk meminta maaf lebih dulu ketika dia merasa kalau itu bukan salahnya. ...