Author POV
***
Seketika perbedaan raut wajah antara Ava dan Abi sangat terlihat kontras saat mendengar perkataan itu keluar dari mulut Ayah Ava.
Mulut Ava terbuka lebar, dia mengerutkan alisnya dan kedua matanya membulat. Sungguh dia tidak bisa membayangkan bagaimana kehidupannya nanti saat harus bersama Abi selama 24 jam.
Berbeda dengan Ava, Abi memang terkejut dengan keputusan teman SMA ibunya itu, tapi dia juga tidak bisa menyembunyikan rasa bahagia yang memenuhi perasaannya saat ini. Apakah ini adalah pelangi setelah badai yang telah menerpanya?
"Kenapa Abi harus tinggal sama kita, Yah?" tanya Ava penasaran.
Sungguh perasaan Ava saat ini sangat sulit ditafsirkan, samar. Di satu sisi dia sangat benci jika ketenangannya terusik oleh orang lain, apalagi rumah adalah tempat paling nyaman. Tempatnya mengisi ulang energinya yang terkuras sehabis beraktivitas di dunia luar. Tapi bagaimana jika orang itu adalah Abi? Apakah semuanya akan berbeda?
"Kamu ngga kasihan sama dia? Ibunya kan lagi dirawat, Va. Nanti yang masakin dia siapa? Kamu mau temen kamu itu kesepian di rumahnya?" ucap Ayah Ava menjelaskan.
Abi menganggukan kepalanya bersemangat, setuju dengan pernyataan yang dibuat oleh Ayah Ava.
"Ayah, asisten rumah tangganya Abi itu banyak. Nggak mungkin juga mereka ngebiarin dia kelaperan," ucap Ava membantah perkataan ayahnya.
Kini Abi mengerutkan alis dan mengerucutkan bibirnya, melontarkan raut wajah cemberut. Lalu dia beralih menatap Ayah Ava. Menunggu pria paruh baya itu menyanggah ucapan putrinya.
"Beda dong, Nak. Masakan seorang Ibu sama asistennya. Biarin ajalah Abi tinggal sama kita, sementara aja kok sampai ibunya sembuh. Lagipula jarak dari rumah kita ke Rumah Sakit ini juga lebih deket, jadi biar lebih cepat kalo mau bolak-balik," ucap ayah Ava lagi yang tentu saja diikuti anggukan kencang oleh Abi.
Selagi mereka tidak ada, Ayah Ava sudah menitipkan Ibu Abi oleh perawat yang sedang berjaga. Karena wanita teman masa SMA nya itu sangat tidak ingin merepotkan orang-orang terkasihnya.
"Terus dia mau tidur dimana, Yah? Di sofa? Jagain TV biar ngga kemalingan?" tanya Ava lagi. Abi yang mendengar hal itu sontak langsung menatap ke Ayah Ava, menunggu jawaban dari pria paruh baya itu.
Memang rumah mereka sangat terkesan simple dan juga minimalis. Jadi tidak ada satu pun ruangan yang tidak terpakai ataupun tidak terawat.
"Kamar Tyo kan ada. Adik kamu itu kan kalo malam suka pindah ke kamar Ayah sama Bunda, ngga berani tidur sendiri dia. Jadi bisa lah ditempati Abi dulu," ucap Ayah Ava yang tentu saja membuat Abi tersenyum lebar dan merasa lega.
Ava berdecak, kalau sudah begini dia tidak bisa lagi membantah kemauan ayahnya. "Terserah Ayah, deh."
Pria paruh baya itu mengangguk dan tersenyum senang, begitu juga dengan Abi. "Sekalian temenin Ayah bergadang nonton bola kalo malem ya," ucap Ayah Ava kepada Abi.
Cowok itu menyejajarkan jari telunjuk dengan alisnya membentuk hormat. "Siap, Yah-" sadar dirinya kembali salah berucap Abi mendengus dan menggelengkan kepalanya, lisannya kembali berkata, "Maksud Saya, Om," ucap Abi mengoreksi.
Tiba-tiba gelak tawa kecil keluar dari mulut Ayah Ava, membuat perasaan kikuk kembali menyelimuti Abi. "Panggil Ayah juga gapapa. Mulai sekarang kamu sudah Saya anggap sebagai anak sendiri," ucap Ayah Ava seraya mengacak rambut cowok itu.
Sungguh, Abi sangat rindu perlakuan ini. Perlakuan seorang Ayah kepada putranya. Seperti apa yang dilakukan oleh mendiang ayahnya dulu.
Seulas senyuman tulus tercetak jelas di bibir Abi. Dia mengangguk, "Siap, Yah!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Prank Calls
Teen FictionIni adalah kisah dari dua selebriti BK yang dipertemukan secara tidak sengaja akibat sebuah Prank Calls yang salah sasaran. Avasha Qytara Mahveen, cewek bobrok binti galak yang paling anti dengan manusia bernama Abi. Dan Abinaya Aharon Shuwn, cowok...