18. Satu Atap?

101 36 151
                                    

Author POV

***

Sejak dua hari yang lalu, Abi tidak beranjak sedikitpun dari kursi di sebelah ranjang wanita yang belum juga membuka matanya.

Sudah dua hari pula Abi tidak masuk sekolah, dia tidak ingin sedetikpun meninggalkan sang ibu. Setidaknya dia harus ada di samping ibunya saat beliau membuka mata.

Dia menyandarkan sebelah pipinya di atas kasur, memandang wajah sang ibu yang masih terlihat beberapa bekas luka gores yang belum sepenuhnya mengering. Juga dengan perban putih yang melingkari kepala perempuan berhidung mancung tersebut.

Sesekali Abi mengangkat tangan ibunya dan meletakkannya di atas kepalanya. Seakan memperagakan perlakuan ibunya yang sering kali mengusap rambutnya lembut.

Semenjak kemarin, Rumah Sakit juga merupakan rumah kedua untuk Ava. Setiap pulang sekolah, dia yang diantar ayahnya tidak pernah absen untuk menemani Abi.

Ava yang menyaksikan pemandangan itu sontak menatap Abi sendu. Dia memang tidak pernah berada di posisi cowok itu, tapi dia sangat paham bagaimana rasanya melihat wanita yang melahirkan dan membesarkannya terluka.

Gadis itu melangkahkan kakinya perlahan, mendekati Abi yang masih bergeming, tidak mengalihkan fokusnya sama sekali.

Baru saja Ava berniat meraih pundak Abi, namun seketika niatnya itu terhenti saat melihat wanita yang terbaring di atas ranjang itu perlahan membuka matanya.

Dengan semangat yang menggebu, Ava menepuk pundak Abi beberapa kali sampai membuat cowok itu bangkit dan melihat pemandangan yang gadis itu lihat sebelumnya.

Sontak senyuman lebar terpancar dari mulut keduanya. "Ibu?" ucap Abi bersemangat.

Kini kedua kelopak mata wanita itu terbuka sempurna, beliau menatap Abi dan Ava secara bergantian lalu tersenyum lembut.

Saat itu juga, Ava meraih bel yang menggantung tidak jauh dari ranjang dan menekan ibu jarinya pada saklar tersebut, berharap dokter ataupun suster yang sedang bertugas secepatnya datang.

Dan benar saja, tak butuh waktu lama, pintu kamar yang sebelumnya tertutup kini terbuka lebar. Seorang pria berbalut jas berwarna putih dengan stetoskop yang melingkari lehernya muncul dari balik pintu, diikuti dengan beberapa perawat di belakangnya dan juga Ayah Ava yang berjarak tak jauh dari mereka.

Sesaat setelahnya, dokter langsung melakukan pemeriksaan kepada ibu Abi dengan seksama. "Ibu saya gimana, Dok?" tanya Abi yang menunjukkan raut wajah harap-harap cemas.

Setelah selesai dengan pekerjaannya, sang dokter kembali mengalungkan stetoskop tersebut di lehernya. "Saya belum bisa memastikan, karena harus melakukan tes lebih lanjut. Maaf sebelumnya, Walinya siapa, ya?"

Baru saja Abi mengangkat tangannya, namun pria paruh baya yang tak lain merupakan ayah dari Ava sudah lebih dulu bersuara, "Saya, Dok," ucap beliau lantang.

Akhirnya sang dokter berjalan keluar bersama ayah Ava diikuti oleh beberapa perawat. Abi memang selalu berusaha untuk menghormati Ayah dari gadis yang begitu digilainya, tapi untuk saat ini dia tidak bisa terima dengan keputusan pria paruh baya itu yang mengaku menjadi wali ibunya. Karena dia juga harus mendengarkan sendiri penjelasan dokter mengenai kondisi wanita yang telah merawatnya sejak kecil itu.

Namun saat cowok itu baru saja ingin menyusul mereka, pergelangan tangannya sudah terlebih dahulu ditarik pelan oleh sang ibu. Sontak Abi menoleh.

Wanita itu tersenyum lembut lalu menggeleng, menyuruh Abi untuk tidak meneruskan niatnya.

"Tapi, Bu. Abi juga harus tau kondisi Ibu gimana," ucap Abi dengan nada pelan.

Prank CallsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang