Tiga Belas

30 4 0
                                    

Sayla meletakkan semua hadiah yang didapatkannya di pojok kamar. Ia segera menghapus semua make up-nya. Ia segera keluar untuk mandi. Kebetulan Nana dan Laras baru tiba setelah Sayla selesai mandi.

"Sa, ntar malem hangout yuk! Buat rayain wisuda lo!" seru Laras heboh.

Nana mengangguk. "Kita traktir deh!"

Sayla tersenyum. "Boleh! Ntar jam lapanan yaa. Gue mau istirahat dulu."

Nana dan Laras mengangkat jempolnya kemudian masuk ke kamar masing-masing.

Sayla memperhatikan satu persatu hadiahnya. Kebanyakan adalah bunga dan boneka. Tidak hanya itu, salah satu teman baiknya di kelas memberikannya seperangkat make up dan satunya lagi seperangkat skin care.

"Dasar bocah! Tau aja gue lagi miskin beginian!" Sayla geli sendiri mengingat kedua sahabatnya di kelas yang sudah lulus setahun lalu tetapi masih terus memberikan dukungan padanya.

Sayla menatap buket bunga matahari itu amat lama. Ia mengambilnya. Ternyata ia sejak tadi tidak sadar bahwa ada yang diselipkan di antara bunga mawar itu. Sebuah foto yang dicetak ala polaroid. Fotonya dengan Alreza secara candid ketika Sayla menanyai Alreza materi ketika di depan kelas. Benar-benar candid karena Sayla pun sedikit lupa, kapan ia pernah menanyai Alreza di depan kelas.

Sayla tersenyum. Mungkin kedatangan Alreza tadi memang sama sekali tidak memberikan jawaban padanya. Namun, kehadirannya yang sangat tiba-tiba membuat rindunya sedikit sembuh. Sedikit, hanya secuil. Selebihnya, di hatinya pertanyaan-pertanyaan sejak setahun yang lalu itu masih tersimpan rapi di memori otaknya.

"Aku akan nungguin kamu, seperti apa yang kamu minta. Tapi kalau terlalu lama, maaf. Mungkin aku akan berhenti menunggu dan memilih pergi. Cari aku ya ketika aku pergi." Sayla berkata seraya menatap bunga matahari di depannya dengan tatapan sendu.

***

Laras sudah heboh sedari sore. Ia sudah mandi dan berdandan cukup lama sampai membuat Nana bingung.

"Ini kita cuma mau makan bertiga doang loh. Kenapa elu jadi seheboh itu dah?" tanyanya heran.

Laras yang sedang memilih-milih baju menatapnya gemas. "Meskipun cuma bertiga, kita kan jarang keluar bareng kayak gini. Semua pada sibuk sama urusannya masing-masing padahal kita serumah. Sekontrakan. Rumah ini kayak cuma buat tempat istirahat doang. Selain itu kita nggak pernah interaksi. Paling cuma say hay doang kalau papasan. Kalau enggak? Apa kita pernah ngumpul, makan bareng terus ngobrol?"

Penjelasan panjang Laras membuat Nana tertegun. Ia kira, hanya dirinya sendiri yang merasakan hal itu. Akhir-akhir ini memang ia sudah mulai sibuk. Ia diterima di sebuah startup di kota ini. meskipun hanya setengah hari bekerja, setengahnya lagi ia gunakan untuk menyelesaikan pekerjaan desain pesanan orang. Ia bahkan hampir lupa jika hari ini Sayla wisuda. Nana pikir, semua akan terus bodo amat dengan keadaan karena memiliki kesibukan. Ternyata, Laras akhirnya mematahkannya.

"Gue kira, gue doang yang ngerasa sok sibuk sampai nggak punya waktu. Ternyata elo juga." Ujar Nana lirih.

Tak lama kemudian Sayla keluar dari kamarnya dengan kaus lengan panjang dan celana kulot. Ia sama sekali tak berdandan berlebihan.

"Elo heboh banget sih, Ras?" tanya Sayla sembari duduk di sebelah Nana.

Laras memutar tubuh. "Udah canteek belom gue?"

Nana dan Sayla kompak mengangguk.

"Ya udah. Yuk caw!" mereka segera keluar dari kamar Laras. Nana sudah memesan taksi online untuk mengantar mereka ke sebuah restoran kecil di pinggiran kota.

***

Laras sudah heboh memesan berbagai makanan, begitupun Sayla. Nana hanya memesan seperlunya karena ia masih kenyang setelah makan siang tadi bersama teman-temannya yang juga diwisuda hari ini.

"Habis ini rencana lo mau kemana, Sa?" tanya Nana sembari menunggu pesanan mereka.

Sayla menatap Nana. "Nggak tau. Masih mau ngelanjutin nulis freelance kayaknya. Sambil nunggu ijazah keluar. Habis itu kayaknya ngelamar di sekolah tempat gue magang dulu."

Laras yang sedari tadi sibuk dengan gawainya segera meletakkannya dan ikut nimbrung. "Ya pokoknya jangan kelamaan nganggur lah. Biar lo nggak suntuk di rumah, sekalian nyari yang part time dulu. Kan lumayan. Atau jadi penulis tetap gitu."

Sayla mengangguk. "Kalau mau part time, gue nggak dibolehin sama Bunda. Katanya nggak apa nungguin ijazah keluar biar bisa ngajar. Katanya juga Bunda bakalan ngasih jatah bulanan dulu sampai gue bener-bener jadi guru. Kalian kan tau sendiri kalau jadi guru itu juga jadi mimpi Bunda gue yang nggak kesampaian. Makanya gue manut aja dah apa kata Bunda."

Tak berapa lama minuman mereka datang. Nana yang sedari tadi diam menunggu waktu yang tepat akhirnya memberanikan diri bertanya.

"Hubungan lu sama Iky gimana?"

Sayla terkejut ditanyai seperti itu.

"Ya nggak gimana-gimana. Gue sama dia cuma deket sebagai temen. Nggak lebih."

"Tapi gue lihatnya nggak gitu." Laras menyahut. Selama ini ia hanya diam karena mencari waktu yang tepat. Mungkin inilah saatnya menanyakan segala rasa penasarannya.

Sayla mengerutkan kening. "Nggak gitu gimana?"

Laras dan Nana menghela napas bersamaan. Inilah keburukan Sayla. Ia sama sekali tidak peka.

Laras memberi kode pada Nana untuk menjelaskan. Nana mengangguk dan memajukan tubuhnya sedikit.

"Gini deh, Sa. Apa menurut lo wajar kalo seorang cowok hampir tiap hari ngasih perhatian ke seorang cewek hanya karena mereka berteman?"

Sayla kembali mengerutkan kening. "Ya wajar. Buktinya Dana juga gitu."

"Apa tiap hari?"

Kali ini Sayla terbungkam. Dana memang perhatian padanya, tetapi tidak setiap hari ia memberikan perhatian. Hanya seperlunya saja.

"Nggak tiap hari kan?" Laras mendesak.

Nana menatap Sayla dalam. "Sa, kita ini temenan udah lama. Udah hampir enam tahun gue kenal elu. Udah keliatan banget kalo Iky itu ada mau sama elu! Kalau memang niatnya sebagai temen, perhatiannya sewajarnya aja. Kayak Dana. Dia baik. Atau bisa dibilang temen yang baik. Yang selalu datang waktu lo susah ataupun senang. Dia memperlihatkan niatnya menjadi temen yang baik dengan cara selalu jagain dan ngelindungin elu. Tapi apa dia tiap hari ngasih perhatian? Apa dia tiap hari nge-­gofood-in makanan buat lu? Apa dia tiap hari beliin lu kopi? Apa dia tiap hari telpon lu? Enggak kan?"

Laras yakin, Sayla pasti sedang mencerna omongan Nana. Nana yang paling bijak diantara mereka bertiga. Nana selalu menjadi orang paling objektif dalam menghadapi masalah. Dan tentunya Sayla akan mendengarkan apa kata Nana dibanding apa katanya. Laras sendiri juga tidak terlalu bisa mengatur emosinya dengan baik seperti Nana.

"Sa, kalau elu nggak mau kehilangan untuk yang kesekian kalinya dengan cara yang nggak baik, tolong hargain mereka yang dateng."

Sayla baru akan angkat bicara tapi Nana tidak mau menghentikan omongannya. "Gue tau di hati lu masih ada murid lu itu. Tapi mau sampai kapan, Sa? Iky datang ke hidup lu kemungkinan dia bawa obat. Atau bahkan nyembuhin. Coba deh lu pikir-pikir lagi."

Makanan mereka datang. Mereka makan dalam suasana begitu hening. Sayla berusaha mencerna perkataan Nana. Sementara Nana dan Laras terus berpikir bagaimana membuat Sayla berhenti murung. Karena sungguh, itupun melukai hati mereka sebagai teman Sayla.

***

-Rasa yang Tepat-Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang