Satu

97 6 3
                                    

Jam di dinding sudah menunjukkan pukul 08.30. Namun, Alreza masih saja enggan untuk beranjak dari tempat tidurnya. Badannya juga lelah setelah menggantikan temannya untuk balapan liar semalam. Andai Sayla tahu, pasti perempuan itu sudah ngomel panjang....

Alreza tersenyum nanar. Kenapa harus perempuan itu yang ia ingat? Bukankah perempuan itu memilih untuk membiarkannya menunggu?

Alreza menatap ponselnya yang di halaman utamanya ia pasang fotonya dan Sayla ketika hari terakhir Sayla berada di sekolah. Di foto itu, Sayla tersenyum manis. Sangat manis. Sedangkan ia hanya tersenyum tipis.

Beberapa hari yang lalu ketika Alreza memasang foto itu sebagai gambar latar di ponselnya, Ivana tak hentinya meledek. Ia bilang, Alreza laki-laki gagal move on. Apa iya? Mungkinkah hatinya masih tertambat pada Sayla?

"Ngapain juga dipikirin? Ntar kalo udah jodoh juga bakalan balik!" gumam Alreza seraya kembali melanjutkan tidurnya.

***

Keesokan paginya, Alreza sampai di sekolah pada saat bel masuk berbunyi. Ia segera bergegas menuju kelasnya.

Ketika sampai di dalam kelas, Ivana menatapnya tajam.

"Kenapa?" tanya Alreza seraya melempar tasnya di atas meja.

"Kemana lo kemarin nggak masuk?"

"Tidur!" jawab Alreza enteng. Ia memang tidak pernah berbohong pada Sayla. Apapun aktivitasnya selalu ia ucapkan dengan jujur.

Ivana mendelik. "Elo tuh, mau sampai kapan sih kayak gini terus?"

Sampai Bu Sayla balik lagi! batin Alreza. Ia mengedikkan bahu. "Udahlah, Na. Elo tuh jangan ngomel-ngomel. Cepet tua lo ntar!"

Tak lama kemudian guru BP masuk ke dalam kelas mereka dan menyapu pandang ke sekeliling kelas.

"Alreza Dhimas. Ikut saya ke ruang BP!" serunya kemudian keluar dari ruang kelas. Alreza berjalan santai dan mengikutinya. Ia sudah biasa dipanggil seperti ini. Hanya beberapa bulan ketika Sayla di sekolah ini saja, ia hampir tidak pernah dipanggil.

Ah, perempuan itu lagi. Kenapa sering sekali perempuan itu mampir di ingatannya?

"Silakan duduk, Alreza!" seru Pak Gunadi membuyarkan lamunan Alreza.

Sebelum bicara, Pak Gunadi menghela napas berat. Akhir-akhir ini harinya begitu berat semenjak Alreza kembali berulah. Ia sampai bosan diingatkan oleh kepala sekolah untuk menegur atau memberi hukuman pada Alreza.

"Kemarin kamu kenapa tidak masuk sekolah?" tanya Pak Gunadi dengan tenang.

Alreza diam, menatap Pak Gunadi dengan tenang. "Kesiangan, Pak."

"Lalu kenapa tidak masuk sekolah?"

"Kalau saya terlambat kan juga percuma, Pak. Tidak akan dibukakan gerbang. Apalagi pukul sembilan. Pasti saya disuruh pulang. Daripada saya membuang tenaga untuk berangkat ke sekolah, lebih baik saya lanjutkan tidur saja."

Kalimat yang Alreza ucapkan benar-benar membuat Pak Gunadi tidak bisa berkata apa-apa. Jika siswa lain yang terlambat, mereka akan memohon-mohon agar bisa masuk ke dalam sekolah dan mengikuti pelajaran seperti biasa. Sementara Alreza, berjuang untuk mau berangkat ke sekolah saja tidak ada. Harus diapakan lagi anak ini?

"Jangan diulangi lagi. Sekarang kamu bersihkan aula."

Alreza terhenyak. "Aula, Pak? Nggak salah tuh?"

Pak Gunadi tersenyum sinis. "Kenapa?"

"Pak, aula sekolah kita itu kan gede banget, Pak. Saya dihukumnya Cuma sendirian ini. Masa iya harus bersihin aula seharian?"

"Kalau kamu membantah, saya tambah hukumanmu!"

Dengan perasaan penuh amarah, akhirnya Alreza menerimanya dan berjalan keluar. Di depan ruang BP, ia melihat ketiga temannya.

"Dihukum apaan lo?" tanya Bayu.

"Disuruh bersihin aula. Gila nggak sih? Dikira aula kita Cuma semeter apa!! Ck!!" Alreza berdecak. "Kalian harus bantuin gue!"

***

Bayu, Wawan, dan Galang sudah ngos-ngosan membersihkan aula SMK Kebangsaan. Alreza sedari tadi mengangkut air dari kamar mandi menuju aula untuk mengepel.

"Rez, ini masih lama apa bersihin aulanya? Gue udah gerah banget nih!" seru Wawan.

"Iya. Kagak ada minum minimal air putih kek. Bisa mati kekeringan kalo kayak gini caranya." Sahut Galang.

Alreza berkacak pinggang. "Kalo kalian kebanyakan ngomel, malah makin lama selesainya. Anggep aja ini tuh olahraga. Kalian kan kurang gerak, tiap hari Cuma tidur doang kerjaannya di kelas. Makanya kalo berantem cepet keok. Lagian kalo haus, tuh minum air di ember. Lebih seger kan."

"Lo kalo mau bunuh kita yang alus dong!" ledek Bayu. Akhirnya mereka berempat kembali membersihkan aula dengan wajah-wajah kelelahan.

"Ja!" seru Wawan sembari mengepel dengan sisa-sisa tenaganya.

"Apaan?"

"Elo kenapa kayaknya akhir-akhir ini kacau banget dah!"

Alreza yang sedang seru berlari sembari membawa alat pel berhenti. "Kacau gimana maksud lo?"

"Ya nggak kayak dulu. Sekolah jadi nggak semangat. Diajak nongkrong juga sering banget ngelamun. Kita udah kelas 12 nih. Elo udah nggak ada musuh yang sok ngatur lo lagi. Habis ini kita juga lulus. Kenapa elo malah kayak nggak semangat gitu?"

Alreza menghela napas. "Gue nggak kenapa-napa. Kelas 12 tuh membosankan. Apalagi di semester awal kayak gini. Ntar deh kalo udah deket UN gue bakalan semangat lagi." Alreza segera keluar meninggalkan teman-temannya.

"Timing lo nggak tepat, Wan!" ujar Bayu pelan.

"Kalian tuh yang kelamaan! Tinggal tanya gitu doang juga!"

"Ya tapi kalo ternyata dia makin males-malesan gimana? Besok-besok kek tanyanya. Nggak ngerti suasana hati banget lo!" tanya Galang.

"Emang kalo gue tanyanya besok atau setahun lagi jawabannya bakalan beda? Enggak kan?"

Bayu dan Galang terdiam. Mereka tidak pernah tahu apa jawabannya. Tapi mereka merasa, bahwa Alreza akan terus seperti ini.

***

-Rasa yang Tepat-Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang